10 SD Negeri di Gunungkidul Tak Dapat Siswa, Zonasi dan Demografi Jadi Sorotan

10 SD Negeri di Gunungkidul Tak Dapat Siswa, Zonasi dan Demografi Jadi Sorotan

Liputan6.com, Gunungkidul – Dunia pendidikan dasar di Kabupaten Gunungkidul kembali menghadapi tantangan serius. Dalam proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) untuk tahun ajaran 2025/2026, sebanyak 17 Sekolah Dasar (SD) tercatat tidak memperoleh satu pun peserta didik baru.

Fenomena ini menjadi catatan kelabu yang memperpanjang deretan persoalan pendidikan di Bumi Handayani. Data dari Dinas Pendidikan Gunungkidul menyebutkan, dari 17 sekolah tersebut, 10 di antaranya merupakan SD negeri, sedangkan sisanya merupakan lembaga pendidikan swasta.

Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan kelangsungan pendidikan dasar, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk rendah atau daerah pegunungan. Sekretaris Disdik Gunungkidul, Agus Subariyanta, menjelaskan bahwa proses pendaftaran SPMB telah dibuka sejak awal Mei 2025. Namun, kenyataan di lapangan justru jauh dari ekspektasi.

“Memang ada SD yang tidak mendapatkan pendaftar dalam SPMB tahun ajaran 2025-2026,” ujar Agus.

Ia mengungkapkan bahwa ketimpangan antara jumlah lulusan TK dan kuota bangku SD menjadi faktor utama. Tahun ini, terdapat 9.216 kursi disiapkan untuk siswa baru SD, sementara jumlah lulusan TK hanya 7.903 anak.

Kekosongan murid ini tak hanya terjadi di sekolah negeri, namun juga merembet ke swasta. Beberapa sekolah negeri yang tidak mendapat siswa baru tersebar di berbagai kapanewon, seperti SD Negeri Kropakan dan SD Negeri Puleireng di Tepus, serta SD Negeri Jaten dan SD Negeri Tanjungsari di Playen.

Sementara itu, sekolah swasta yang terdampak antara lain SD Muhammadiyah Gebang Rongkop, SD Muhammadiyah Wareng, dan SD Swasta Sanjaya Giring Paliyan.

Namun demikian, pihak Dinas tidak akan langsung menutup sekolah-sekolah tersebut. Menurut Agus, Dinas Pendidikan akan memantau situasi selama tiga tahun. Bila tidak juga mendapatkan siswa, opsi penggabungan dengan sekolah terdekat akan dipertimbangkan.

“Kami akan terus memantau. Jika selama tiga tahun tidak ada perkembangan, tentu opsi penggabungan sekolah menjadi realistis,” jelasnya.

Tak hanya itu, di tingkat SMP pun, fenomena serupa juga terjadi. Tercatat, sebanyak 20 SMP swasta tidak mendapatkan siswa baru pada tahun ajaran ini. Agus Subariyanta menegaskan bahwa ini bagian dari dinamika demografi yang memang terus berubah.

“Kalau ada sekolah kekurangan murid bukan masalah besar, karena jumlah bangku lebih banyak dari jumlah lulusan. Ini wajar terjadi di daerah seperti Gunungkidul,” ujarnya.