Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo
PELUNCURAN
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (
Danantara
) pada Februari 2025, seharusnya menjadi tonggak baru dalam transformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia.
Dengan ambisi mengelola aset lebih dari 900 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.000 triliun, Danantara digadang-gadang sebagai pilar utama dalam penguatan ekonomi nasional.
Pemerintah menjanjikan bahwa badan ini akan meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan aset negara, sekaligus menekan potensi kebocoran keuangan yang selama ini menjadi penyakit kronis dalam pengelolaan BUMN.
Namun, hanya dalam hitungan hari setelah peresmian tersebut, publik dikejutkan dengan terbongkarnya kasus korupsi besar di tubuh PT Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.
Ironi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas reformasi struktural dan integritas tata kelola BUMN di Indonesia.
Kasus korupsi sebesar ini terungkap di tengah upaya modernisasi dan efisiensi yang digaungkan oleh pemerintah.
Terungkapnya kasus korupsi ini menimbulkan disonansi kognitif dalam masyarakat. Harapan publik yang tinggi terhadap peningkatan tata kelola BUMN pasca-peluncuran Danantara bertabrakan dengan realitas yang menunjukkan masih maraknya praktik korupsi di institusi negara.
Fenomena ini menegaskan bahwa perubahan struktural semata tidak cukup untuk memberantas korupsi jika tidak diiringi dengan perubahan budaya dan komitmen kolektif dalam menjalankan prinsip tata kelola yang bersih.
Kekecewaan ini berpotensi memperkuat sinisme sosial, di mana masyarakat semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Ketika kasus besar seperti ini kembali mencuat, publik semakin percaya bahwa reformasi yang digaungkan pemerintah hanya bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Dalam konteks ini, kepercayaan terhadap BUMN dan pemerintah menjadi semakin rapuh, yang pada akhirnya dapat menggerus legitimasi negara di mata rakyat.
Kasus ini menunjukkan bahwa perubahan struktural seperti pembentukan Danantara tidak otomatis menghilangkan masalah mendasar yang telah mengakar lama, yaitu korupsi sistemik dalam BUMN.
Reformasi yang dilakukan sering kali hanya sebatas perubahan pada bentuk organisasi, tetapi tidak menyentuh aspek fundamental seperti penguatan integritas individu yang terlibat di dalamnya.
Tanpa reformasi budaya kerja yang serius, mekanisme baru justru dapat menjadi instrumen baru bagi praktik korupsi yang lebih canggih.
Jika perubahan hanya bersifat kosmetik tanpa membangun budaya transparansi dan akuntabilitas yang kuat, maka reformasi hanya menjadi ilusi belaka.
Pemerintah perlu memahami bahwa kebijakan seperti pembentukan superholding bukan solusi instan jika tidak disertai dengan penguatan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang tegas.
Pengalaman menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah kelemahan sistem, tetapi juga masalah moralitas dan budaya yang telah berkembang selama bertahun-tahun.
Penetapan tujuh tersangka dalam kasus ini, termasuk petinggi Pertamina, menegaskan bahwa korupsi di BUMN masih terjadi di level tinggi.
Ini menimbulkan pertanyaan kritis: di mana sistem pengawasan internal dan eksternal yang seharusnya mendeteksi praktik korupsi sebelum mencapai skala yang begitu besar?
Lemahnya sistem pengawasan menunjukkan bahwa selama ini pengelolaan BUMN masih jauh dari prinsip
good corporate governance
yang ideal.
Ketidakberdayaan sistem pengawasan ini mencerminkan lemahnya mekanisme
check and balance
dalam tata kelola BUMN.
Jika sistem pengawasan tidak diperbaiki, maka praktik serupa akan terus berulang, dan upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi reaksi terhadap skandal yang sudah terjadi, bukan pencegahan yang efektif.
Pemerintah perlu mempertimbangkan sistem pengawasan berbasis teknologi yang lebih transparan dan melibatkan lebih banyak aktor independen untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa isu korupsi tetap menjadi perhatian utama masyarakat. Publik bereaksi keras terhadap kasus ini karena skala kerugian yang luar biasa besar dan fakta bahwa itu terungkap hanya beberapa saat setelah pengumuman reformasi besar-besaran.
Keterkejutan publik bukan hanya pada nilai korupsinya, tetapi juga pada bagaimana praktik tersebut masih bisa berlangsung dalam sistem yang seharusnya sudah diperbaiki.
Kepercayaan publik merupakan aset yang sangat berharga bagi pemerintahan. Ketika kepercayaan ini dirusak oleh skandal seperti ini, maka pemerintah akan menghadapi tantangan besar dalam membangun legitimasi dan dukungan untuk kebijakan ekonomi dan reformasi lebih lanjut.
Kesenjangan antara retorika anti-korupsi dan realitas yang terjadi di lapangan membuat masyarakat semakin apatis terhadap upaya pemerintah dalam menata ulang sistem ekonomi dan administrasi negara.
Kasus ini menegaskan bahwa reformasi dalam pengelolaan BUMN harus bersifat holistik. Pemerintah harus memperbaiki sistem pengawasan internal dengan menerapkan teknologi audit yang lebih canggih dan melibatkan lembaga independen dalam pemantauan BUMN.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah meningkatkan transparansi melalui platform digital yang memungkinkan publik mengawasi pengelolaan dana dan aset negara secara
real-time.
Tidak cukup hanya menangkap para pelaku; hukuman yang diberikan harus memiliki efek jera yang kuat.
Korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya mendapatkan hukuman yang sebanding agar dapat memberikan efek deterens bagi pejabat lain yang berpotensi melakukan hal serupa.
Selain itu, proses hukum terhadap pelaku korupsi harus berlangsung transparan agar masyarakat dapat melihat bahwa keadilan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
Publik harus memiliki akses terhadap informasi mengenai kinerja dan keuangan BUMN, sehingga kontrol sosial dapat berfungsi lebih efektif.
Jika pengelolaan BUMN terus berlangsung secara tertutup, maka peluang terjadinya korupsi akan selalu ada.
Oleh karena itu, keterbukaan informasi harus menjadi prioritas dalam reformasi tata kelola BUMN untuk memastikan bahwa praktik korupsi tidak lagi menjadi bagian dari sistem.
Dalam jangka panjang, pendidikan dan pembinaan karakter menjadi kunci dalam menciptakan pemimpin dan pegawai BUMN yang berintegritas.
Integritas harus menjadi nilai utama dalam proses rekrutmen dan pengembangan sumber daya manusia di lingkungan BUMN.
Dengan demikian, reformasi tidak hanya berlangsung di level kebijakan, tetapi juga tertanam dalam nilai-nilai yang dianut oleh individu yang menjalankan organisasi tersebut.
Ironi antara peluncuran Danantara dan terbongkarnya kasus korupsi Pertamina harus menjadi pelajaran bagi pemerintah bahwa reformasi bukan sekadar perubahan nama dan struktur, tetapi membutuhkan perubahan budaya dan komitmen nyata dalam memberantas korupsi.
Reformasi sejati membutuhkan keberanian politik untuk menindak pelaku korupsi di segala level, tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.
Tanpa langkah konkret yang mengarah pada perbaikan sistem secara menyeluruh, reformasi hanya akan menjadi sekadar wacana yang terus diulang tanpa hasil nyata bagi masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
10 Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi Nasional
/data/photo/2025/02/26/67be4c6164684.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)