Perjuangan Ria Rawat Anaknya yang Lumpuh Akibat Digigit Ular Weling, Butuh 5 Tahun Berdamai dengan Kenyataan
Tim Redaksi
KULON PROGO, KOMPAS.com
– Adzan dzuhur sudah lewat cukup lama ketika Deni Rianingsih—atau Ria—bergegas menuju kamar depan sambil membawa gelas untuk bikin susu.
Di rumahnya di Padukuhan Dhisil, Kalurahan Salamrejo, Kapanewon Sentolo,
Kulon Progo
, Daerah Istimewa Yogyakarta, ibu rumah tangga berumur 40 tahun ini menyiapkan waktu minum susu bagi putranya, Ananda Yue Riastanto (16), yang sejak kelas awal sekolah dasar lumpuh total setelah digigit
ular weling
.
Susu SGM BBLR itu diberikan atas saran rumah sakit untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan Ananda.
Bukan diminum lewat mulut, melainkan melalui selang NGT Fr. 8 yang masuk dari hidung kanan menuju lambung.
Saat berkunjung ke rumahnya, Minggu (30/11/2025), tampak Ria dengan gerakan tenang namun penuh perhatian menyedot sekitar 300 cc susu menggunakan spuit, lalu perlahan memasukkannya ke dalam selang.
Sesekali ia menoleh memastikan kondisi Nanda aman.
“Ini sudah masuk tahun kedelapan sejak sakit itu datang,” ujar Ria, mengenang masa pahit yang mengubah hidup keluarganya.
Remaja yang ia panggil Nanda itu terbaring miring ke kiri di atas kasur springbed besar di kamar sederhana berdinding hijau.
Dindingnya penuh coretan warna-warni karya sang adik, Aini Zia Riastanti, yang masih TK.
Bantalan tisu selalu terpasang di ujung bibir kiri Nanda untuk menampung air liur yang terus menetes.
Tubuhnya sangat kurus, nyaris tinggal tulang, dengan tangan menggenggam kaku dan keringat tipis karena panas siang hari.
Bola mata dan kepala tampak menonjol, tak lagi seimbang dengan tubuhnya.
Ria tidak pernah melupakan pukul 03.00 suatu hari pada awal 2017.
Waktu itu Nanda dan keluarga baru menempati rumah baru di hari ke-17.
Nanda yang masih lincah tiba-tiba datang tergopoh sambil berkata, “Bu, aku digigit ular…”
Sesudah itu, semuanya berubah cepat dan traumatis.
Meski ia sudah meyakinkan tenaga kesehatan bahwa itu gigitan ular weling dan membutuhkan antibisa segera, penanganan tak secepat harapan keluarga hingga akhirnya dirujuk ke rumah sakit besar.
Racun weling membuat Nanda harus dirawat lebih dari sebulan di RSUP Dr. Sardjito.
Ia selamat, tetapi kehilangan hampir seluruh kemampuan motorik dan penglihatannya.
Sejak itu, hidup keluarga ini berputar mengelilingi perawatan intensif untuk Nanda yang hanya bisa tidur di rumah dengan sekeliling berupa rimbun pohon jati dan kelapa, bambu, dan tumbuhan pakan ternak, dan satu rumah kerabat di sebelahnya.
Dari luar, rumah batako lebih 80 meter persegi sederhana itu tampak tenang.
Terdengar suara kambing mengembik dan ramai anak ayam di bagian belakang rumah.
Namun, di dalam rumah, perjuangan hidup sejatinya tidak pernah berhenti.
Ria menjalani rutinitas yang tak semua ibu sanggup menanggung: mengganti selang NGT, memantau pernapasan Nanda, menyiapkan makanan khusus, hingga memasukkan enam kali makanan cair, satu kali susu, dan dua kali puyer obat, setiap hari melalui sonde.
Isinya nasi, sayuran seperti wortel, brokoli, buncis sampai ubi ungu, harus direbus lalu diblender, tanpa banyak bumbu, garam sedikit, gula hampir tidak pernah. Lauk biasanya kaldu ayam atau tahu.
“Nanda makan setiap tiga jam sekali. Satu hari bisa enam tujuh kali makan, satu kali susu, obat dua kali. Belum air putihnya beberapa kali,” ujarnya.
Seluruh waktu dan tenaganya terserap untuk menjaga stabilitas Nanda.
Buang air kecil maupun besar diatur lewat pispot dan hanya Ria yang paham isyarat kecil tubuh anaknya.
Ia jarang meninggalkan rumah kecuali ke pasar, konsultasi dokter, atau tes laboratorium.
Obat vitamin otak, anti-kejang, dan penenang ringan menjadi bagian dari ritme harian.
Lima tahun pertama adalah masa paling berat.
Perlahan, ada perkembangan kecil.
Nanda yang dulu tak mampu batuk dan harus disedot di rumah sakit, kini mulai bisa mengeluarkan dahak sendiri.
Ia tidur lebih tenang, otot-ototnya sedikit lebih lentur.
Meski begitu, sesekali kejang singkat 2–3 detik masih bisa datang, tapi tidak sepanjang dulu.
Menjaga dari sleep apnea, Ria selalu sigap terjaga bila mendengar keanehan.
Suaminya, Sugiyanto, adalah satu-satunya pencari nafkah.
Ia bekerja sebagai tukang bangunan dari pagi hingga malam, dengan penghasilan rata-rata Rp100.000 per hari.
“Dibilang sedikit enggak, dibilang banyak juga enggak. Tapi ya itulah. Selagi badan sehat, siang malam kerja. Kalau enggak masuk, berat,” ujar Sugiyanto.
Susu menjadi kebutuhan terbesar.
Satu kaleng seharga Rp108.000 hanya bertahan tiga hari.
Seminggu minimal dua kaleng—belum termasuk obat, selang, dan spuit yang banyak harus dibeli di luar tanggungan BPJS.
Kebutuhan Nanda jadi prioritas pertama.
Selesai bekerja, Sugiyanto langsung pulang untuk gantian menjaga Nanda.
Soal menjaga Nanda, Sugiyanto biasa memandikan anaknya setiap pukul 16.00 WIB.
Sesekali, ia menjemur Nanda bila sinar matahari menjangkau teras rumah.
Ria membutuhkan waktu lama untuk berdamai dengan kenyataan.
Kedamaian datang seiring Nanda juga semakin membaik dalam keterbatasan, seperti tidur lebih alami, dsb.
Tapi, rasa sesal sesekali muncul semaunya.
Sesak itu tiba-tiba datang tanpa aba-aba, bahkan pernah muncul selagi memasak untuk Nanda.
Kata Ria, tantangan terberat justru terjadi di ranah mental.
“Kadang tiba-tiba saya diam, terus nangis sendiri sambil sesak. Saya bertanya, ‘Kenapa harus anak saya?’” ujarnya.
Pernah pula muncul tidak disangka ketika teman-teman Nanda sepermainan dulu melintas di depan rumah.
Mereka sudah besar, remaja, dan terlihat bahagia.
Air mata meleleh tak kuasa dibendung.
Enam bulan pertama menjadi periode paling berat, hingga berat badannya turun 14 kilogram.
Ia mengaku membutuhkan lima tahun untuk benar-benar bisa menerima kenyataan tersebut.
Di tengah tekanan itu, Ria tetap memikul beban perawatan fisik anaknya.
Ia belajar memasang selang makan sendiri setelah hampir pingsan melihat prosesnya.
Risiko salah pasang sangat tinggi karena selang dapat masuk ke paru-paru.
“Makanya beli stetoskop sendiri buat memastikan,” ujarnya.
Upaya Ria tidak sia-sia.
Nanda menunjukkan kemajuan kecil namun berarti, seperti mulai bisa mengangkat tangan.
Meski perintah motorik dari otak belum pulih sepenuhnya, terapi membesarkan harapan Nanda punya potensi lebih baik dari hari ini.
Ria menegaskan ia tidak ingin dikasihani. “Saya cuma minta yang terbaik. Kalau memang sembuh masih mungkin, saya mohon diberi jalan,” katanya.
Dalam perjuangan panjang melawan rasa takut, kelelahan, dan ketidakpastian, Ria tetap bertahan.
“Ngomongnya pasrah, tapi hati sebenarnya susah. Ada masa saya enggak bisa terima. Harusnya kan enggak begini… Tapi lama-lama belajar legawa,” ujarnya lirih.
Air mata menetes saat ia berkata pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Di tengah keterbatasan, ia menemukan sesuatu yang justru menguatkannya: menulis.
Berawal dari kegemarannya membaca dan rasa tak puas pada alur cerita bacaan tertentu, ia mulai menulis dan mengunggahnya ke platform novel daring.
“Saya mulai dua tahun belakangan. Iseng-iseng saja, lama-lama jadi hiburan, seperti pelarian (penghiburan),” kata lulusan SMK Negeri di Pengasih ini.
Saat pandemi, ketika usaha umbi gadung olahan terhenti, ia mulai fokus menulis genre populer yang disukai pembaca digital.
Cerita bikinannya harus ikut pasar kalau mau mendulang banyak viewers.
Menulis menjadi perjuangan di jalan lain demi anak.
Penghasilannya memang tidak besar, tetapi cukup membantu membeli kebutuhan harian, obat, atau susu.
Setiap kali ia mengetik di ponsel, Ria yakin anaknya tahu.
“Dia paham, Mas. Dia tahu kalau saya buka HP bukan mainan, tapi kerja,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Sedikit demi sedikit, menulis memberi hasil.
Ria memproduksi belasan novel digital di salah satu platform, itu belum termasuk dua platform lain.
Ia punya nama pena sendiri tapi masih malu-malu untuk diungkap.
Penghasilan dari menulis rupanya bisa memenuhi perlahan beberapa perabot rumah.
Meski dinding masih banyak yang belum dicat dan plafon masih menganga, Ria berusaha ikut melengkapi kebutuhan rumah dan kebutuhan anaknya.
Ia juga sambil menyisihkan penghasilan agar ke depan bisa membeli laptop biar semakin produktif menulis lebih nyaman sambil tetap menjaga Nanda yang terbaring.
Waktu berjalan tanpa kompromi di tengah Ria yang terus menjahit luka hati dengan tangannya sendiri.
Rumah di tengah jati itu mungkin tampak tak menarik bagi orang lain, namun bagi Ria, di situlah ia belajar arti kekuatan yang paling radikal: mencintai tanpa syarat ketika hidup tak memberi jaminan apa pun.
Dan Nanda, dengan keheningan, justru menjadi pusat gravitasi yang membuat Ria tetap berpijak.
Seorang ibu tidak mengalah.
Tidak hari ini.
Tidak besok.
Tidak juga lusa, karena kasihnya sepanjang jalan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
1 Perjuangan Ria Rawat Anaknya yang Lumpuh Akibat Digigit Ular Weling, Butuh 5 Tahun Berdamai dengan Kenyataan Yogyakarta
/data/photo/2025/12/01/692cf62706d7d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)