Polisi melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan massa saat unjuk rasa di Timika, Papua, Indonesia, 10 Oktober 2011. (Reuters) (https://tinyurl.com/mvse578s)
6 Juli 1998: Tragedi HAM di Papua yang masih membekas
Dalam Negeri
Editor: Calista Aziza
Minggu, 06 Juli 2025 – 06:00 WIB
Elshinta.com – Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak peristiwa tragis yang terjadi di Kota Biak, Papua, namun luka dan tuntutan keadilan masih belum juga reda. Pada 6 Juli 1998, pasukan militer Indonesia diduga melakukan penembakan dan kekerasan terhadap warga sipil Papua yang berkumpul secara damai di sekitar Menara Air, Biak, untuk menyuarakan aspirasi politik dan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol identitas mereka.
Peristiwa ini bermula sejak 2 Juli 1998, ketika ratusan warga melakukan aksi damai untuk memperingati momen penyerahan Papua dari Belanda ke Indonesia serta menyerukan hak menentukan nasib sendiri. Unjuk rasa berlangsung beberapa hari tanpa kekerasan, namun pada 6 Juli dini hari, aparat gabungan dari TNI dan Polri melakukan operasi penertiban besar-besaran. Banyak saksi mata menyebutkan bahwa pasukan melepaskan tembakan ke arah kerumunan dan menangkap ratusan demonstran.
Laporan dari berbagai sumber menyebutkan jumlah korban yang tewas mencapai puluhan, bahkan lebih dari seratus jiwa. Sebagian besar jasad korban dilaporkan ditemukan mengambang di laut sekitar Pelabuhan Biak beberapa hari kemudian. Banyak pula yang hilang atau mengalami penyiksaan di luar proses hukum. Hingga kini, tidak ada penyelidikan resmi dan transparan dari negara terhadap tragedi tersebut.
Organisasi hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional seperti KontraS, TAPOL, hingga Amnesty International, telah mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka dokumen rahasia dan mengusut pelaku pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini. Namun, tuntutan tersebut belum dijawab secara memadai oleh institusi negara.
Peristiwa Biak Berdarah 1998 dianggap sebagai salah satu pelanggaran HAM berat yang terlupakan, terjadi di masa transisi pascareformasi ketika Indonesia tengah menghadapi krisis multidimensi. Banyak aktivis menilai bahwa pengabaian terhadap tragedi ini mencerminkan diskriminasi struktural terhadap masyarakat Papua yang masih berlangsung hingga hari ini.
Peringatan 6 Juli setiap tahun dilakukan oleh masyarakat sipil Papua dan kelompok advokasi HAM untuk menolak impunitas dan menyerukan keadilan bagi para korban. Meski waktu terus berjalan, mereka tetap berharap pemerintah akan memberikan pengakuan, keadilan, dan pemulihan hak bagi para korban serta keluarganya.
Sumber : Sumber Lain