Posisi Keuangan Kereta Cepat Sulit, Selain Operasional Defisit juga Punya Utang

Posisi Keuangan Kereta Cepat Sulit, Selain Operasional Defisit juga Punya Utang

JAKARTA – Nasib proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) masih menghadapi jalan terjal.

Selain beroperasi dalam kondisi defisit, proyek yang digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) itu juga menanggung beban utang besar.

Pengamat BUMN Herry Gunawan menilai, KCIC memang dalam posisi sulit karena sejumlah faktor mendasar.

Salah satunya, status KCIC yang bukan termasuk BUMN.

“Posisi kereta cepat Jakarta-Bandung memang sangat sulit, karena beberapa hal. Di antaranya KCIC sebagai penggarap bukan BUMN,” tuturnya kepada VOI, ditulis Kamis, 16 Oktober.

Sekadar informasi, KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan asal China.

Konsorsium Indonesia yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) memiliki 60 persen saham, sementara China melalui China Railway International Co. Ltd. (CRI) memegang 40 persen saham.

Komposisi pemegang saham PSBI terdiri dari PTPT Kereta Api Indonesia (Persero) 58,53 persen, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36 persen, PT Perkebunan Nusantara I 1,03 persen, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08 persen.

Dengan komposisi tersebut, sambung Herry, KCIC tidak termasuk kategori BUMN karena pemerintah Indonesia tidak memiliki saham langsung maupun saham istimewa, dwiwarna di dalamnya, melainkan melalui kepemilikan tidak langsung lewat konsorsium BUMN.

“KCIC bukan BUMN, sebab kriteria BUMN adalah kalau ada pemilikan saham pemerintah secara langsung atau ada saham istimewa pemerintah, yaitu saham dwiwarna,” ujar Herry.

Saat ini, sambung Herry, sudah ada lembaga khusus bernama Danantara Indonesia yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola BUMN secara terpusat. Dengan begitu, posisi KCIC yang berada di luar struktur BUMN membuat intervensi negara, termasuk melalui APBN, menjadi terbatas.

Namun, sambung Herry, yang menjadi masalah saat ini terkait kondisi keuangan KCIC yang mengkhawatirkan.

“Kereta cepat punya masalah keuangan, tidak hanya utang tapi juga beroperasi dengan defisit. Ini menunjukkan prospeknya ke depan kurang bagus,” tuturnya.

Untuk diketahui, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau dikenal sebagai Whoosh menelan investasi jumbo hingga 7,2 miliar dolar AS.

Nilai investasi tersebut mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dolar AS dari target awal biaya proyek sebesar 6 miliar dolar AS.

Dari jumlah 1,2 miliar dolar AS tersebut 60 persen dibebankan kepada konsorsium Indonesia atau sekitar 720 juta dolar AS.

Sementara sisanya, 480 juta dolar AS akan dibebankan kepada konsorsium China.

Struktur pembiayaannya terdiri dari 25 persen melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) KAI senilai Rp3,2 triliun.

Sedangkan 75 persen sisanya bersumber dari pinjaman ke China Development Bank (CDB) sebesar 542,7 juta dolar AS atau Rp8,4 triliun.

Herry menekankan, apa pun opsi yang dipilih pemerintah untuk menyelamatkan proyek tersebut, restrukturisasi utang tetap harus dilakukan.

“Utangnya tetap harus dinegosiasikan ulang agar sesuai dengan kemampuan bayar. Kalau tidak, nanti kena beban baru seperti denda,” tuturnya.