Organisasi: PDSKJI

  • Singapura Krisis Kesehatan Mental, 1 dari 4 Remaja Pernah Lukai Diri Sendiri

    Singapura Krisis Kesehatan Mental, 1 dari 4 Remaja Pernah Lukai Diri Sendiri

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa satu dari empat anak muda mengaku pernah melukai diri setidaknya satu kali dalam hidup mereka. Ini mengungkap prevalensi dan pola perilaku melukai diri sendiri tanpa bunuh diri atau self injury without suicidal intent (NSSI) di kalangan anak muda di Singapura.

    NSSI biasanya mencakup melukai diri sendiri (cutting), membakar diri, memukul, atau menimbulkan bahaya fisik lainnya.

    Penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku NSSI rata-rata dilakukan oleh anak usia 14 tahun. Sementara pada pria, puncak kedua perilaku tersebut terjadi pada usia sekitar 18 tahun.

    Hasil Penelitian

    NSSI berulang, yang didefinisikan sebagai setidaknya lima kejadian melukai diri sendiri, dilaporkan oleh 11,6 persen responden.

    Metode melukai diri sendiri yang paling umum dalam penelitian tersebut adalah cutting, yang dilakukan hampir 13,5 persen anak muda. Hal ini diikuti dengan menggaruk, memukul diri sendiri, dna membenturkan kepala mereka ke sesuatu.

    Studi yang dipublikasi pada Maret itu juga mengambil data dari National Youth Mental Health Study dengan 2.600 peserta berusia 15 hingga 35 tahun. Studi nasional tersebut dilakukan oleh Institute of Mental Health (IMH).

    Ketua dewan medis di IMH, Dr Swapna Verma, mengatakan bahwa NSSI bukanlah gangguan mental, melainkan perilaku yang sering kali menandakan masalah yang mendasarinya.

    “Anak muda mungkin melakukan tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi emosi atau tekanan yang luar biasa yang tidak dapat mereka atasi dengan cara yang lebih sehat,” jelas Dr Swapna dikutip dari The Straits Times.

    “Bagi sebagian orang, tindakan ini memberikan kelegaan sementara dari perasaan yang kuat, seperti kesedihan, kemarahan, kecemasan, atau mati rasa. Yang lain mungkin menggunakannya untuk mengkomunikasikan tekanan,” lanjutnya.

    Studi tersebut menyoroti beberapa faktor risiko yang terkait dengan perilaku melukai diri.

    Dilaporkan usia orang muda yang rentan melukai diri lebih tinggi adalah 15 hingga 29 tahun yang berpendidikan rendah. Hal ini juga dilakukan pada mereka yang mengalami gejala depresi dan kecemasan parah, atau sangat parah.

    Perilaku NSSI juga dua kali lebih mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak puas dengan citra tubuhnya.

    “Diduga individu yang tidak puas dengan tubuhnya mengembangkan sikap acuh tak acuh dalam melindunginya, bersamaan dengan meningkatnya toleransi terhadap rasa sakit,” beber Kepala peneliti senior IMH Sherilyn Chang yang terlibat dalam studi.

    “Ketidakpedulian dan sikap acuh tak acuh terhadap tubuhnya tersebut memudahkan individu terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri saat mereka menghadapi tekanan emosional yang intens.”

    Melihat hal ini, para peneliti dari studi tersebut menekankan pentingnya melatih orang-orang di sekolah, seperti guru dan konselor untuk mengenali dan menanggapi tanda-tanda melukai diri sendiri dengan tepat.

    Mereka juga menyerukan banyak program pencegahan, seperti program untuk meningkatkan ketahanan pada anak muda atau mengajarkan strategi penanganan yang lebih sehat untuk membantu mereka mengelola emosi.

  • Cerita Perempuan yang Nyawanya ‘Diselamatkan’ Seporsi Mie Kari

    Cerita Perempuan yang Nyawanya ‘Diselamatkan’ Seporsi Mie Kari

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Bagi Melati (bukan nama sebenarnya), kehidupan pernah membawanya ke titik paling rendah dalam hidup. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ada suatu masa dirinya akan ‘berdiri’ di antara hidup dan mati.

    “Aku bahkan udah nulis catatan bundir (bunuh diri) dan narik semua uang di ATM buat bayar utang kalo ada yang merasa pernah diutangi. Udah nge-gantung beberapa menit sampai kepala, tenggorokan rasanya mau remuk. Tiba-tiba talinya lepas karena aku nggak pandai bikin simpul,” tulis Melati di media sosial X, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan, Jumat (13/6/2025).

    Kehidupan yang tak berjalan seperti apa yang dimau Melati, membuatnya ingin mencoba mengakhiri hidup sekali lagi. Namun, sepertinya Tuhan sedang mencoba membuat gadis itu bisa bertahan. Percobaannya, kembali tak berhasil.

    “Nyoba lagi tapi kali ini kayunya yang patah karena akunya terlalu berat mungkin. Terus nangis, hidup udah susah mau mati pun susah,” tulisnya.

    Di antara kekecewaan dan kesedihan tersebut, Melati ingat satu hal: makanan yang membuat dunianya kembali baik-baik saja.

    “Akhirnya ke dapur, masak mie kari spesial pake cabe empat biji (aku gak suka makanan yang terlalu pedes). Habis makan terus bobo,” tulisnya.

    Bagi sebagian orang, semangkuk mi kari mungkin hanyalah makanan biasa yang disantap untuk mengganjal lapar. Bagi Melati, lebih dari itu, aroma kari dan kenyalnya mi adalah titik balik.

    “Sampek sekarang lupa kalo kemaren udah se gak peduli itu sama hidup. Bahkan nggak peduli kalopun harus masuk neraka karena bundir. Rasanya yang kemarin menggantung di langit-langit kamar itu bukan aku,” tulisnya.

    Dari kejadian tersebut, Melati mulai menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam hidupnya. Seperti kucingnya yang melahirkan empat anak-anak lucu.

    Melati mulai bersemangat kembali dalam hidup dan tidak meremehkan setiap perjuangan yang dilakukannya dalam setiap hembusan napas.

    “Thanks for the love and supports ya teman teman. Buat yang sudah berbagi kisahnya juga terima kasih karena telah memilih bertahan. Aku tau tindakan aku kemarin bodoh banget dan tidak layak ditiru. Wish u all have a good day!” tulisnya.

    NEXT: Survival Instinct di Balik Tindakan Bunuh Diri

    Psikolog dari Ohana Space, Veronica Adesla mengatakan depresi memang menjadi salah satu fakto mengapa seseorang sampai nekat ingin mengakhiri hidup.

    “Ada namanya major depressive disorder (MDD), orang yang udah masuk dan tingkatannya parah, akan ada action-nya,” kata Veronica saat dihubungi detikcom, Jumat (13/6/2025).

    “Mulai dari keinginan untuk mengakhiri hidup, kemudian memikirkan caranya, mencari tahu cara-caranya, sampai kemudian perilaku yang dilakukan untuk mengakhiri hidup,” lanjutnya.

    Menurut Veronica, ada satu ‘kunci’ bernama survival instinct atau naluri bertahan hidup. Hal-hal kecil seperti makanan favorit, ingat kepada orang-orang terkasih, hingga ketakutan-ketakutan biasanya menjadi penentu di momen antara hidup dan mati tersebut.

    “Biasanya di saat critical, insting untuk hidup ini teraktivasi bisa karena banyak hal. Misal, ‘ohh kalau ini aku lakukan dan tidak berhasil, aku malah menambah beban orang lain, kalau aku jadi cacat bagaimana?’,” kata Veronica.

    “Atau kemudian ada orang yang tiba-tiba menghubungi, dan kemudian dia merasa tidak sendiri. Kalau dia memaknai, ini berarti Tuhan nggak mau aku meninggal, masih ingin aku hidup,” sambungnya.

    Segera Cari Pertolongan

    Veronica melanjutkan, kepada siapa-siapa saja yang memiliki niat untuk mengakhiri hidup, bisa segera mencari bantuan. Baik itu ke psikolog atau orang-orang yang dipercaya.

    “Carilah orang yang memang cukup bisa dipercaya, orang yang nggak judgemental, orang yang dia nyaman untuk diajak bicara. Kompeten, maksudnya tidak menghakimi, dan mungkin bisa memberikan pemahanan,” katanya.

    “Mencari penguatan dari sisi spiritual itu boleh banget. Bahwa dia menjalani kehidupan ini nggak sendirian, bahwa Allah tuh ternyata baik loh,” tutupnya.

    Simak Video “Video Laura Theux Alami Baby Blues gegara Baca Komentar Netizen “
    [Gambas:Video 20detik]

  • Viral Pria Pamit Bunuh Diri Ditemukan Makan Soto, Psikolog Soroti Survival Instinct

    Viral Pria Pamit Bunuh Diri Ditemukan Makan Soto, Psikolog Soroti Survival Instinct

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Warga Kretek, Bantul, belakangan digegerkan dengan seorang pria yang berencana bunuh diri. Namun, setelah ditelusuri oleh pihak kepolisian, mereka justru menemukan pria tersebut sedang sarapan soto dengan kondisi sehat.

    Sebelumnya, pria tersebut menuliskan sebuah surat ‘perpisahan’ kepada keluarganya. Akibat tekanan kehidupan, dirinya mengatakan ingin mengakhiri hidup dengan cara melompat dari atas Jembatan Kretek I.

    ‘*** (tertulis nama dan alamat). Tolong yang membaca surat ini beri tahu keluarga saya. Saya sengaja loncat dari jembatan ini. Saya sudah tidak layak hidup. Tolong yang baca ini panggil Tim SAR buat nemuin jasad saya’

    Kasi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry mengatakan bahwa kejadian bermula saat warga menemukan satu unit motor bernomor polisi AB 3347 TT di sekitar Jembatan Kretek I, Minggu (8/6) pukul 23.30 WIB, beserta selembar kertas berisi pesan ‘perpisahan’.

    “Petugas sudah menghubungi pihak keluarga, dan telah dilakukan olah TKP juga. Hasilnya ditemukan kejanggalan terkait korban lompat ke sungai,” kata Jeffry saat dihubungi wartawan, dikutip dari detikJogja, Jumat (13/6/2025).

    Kasus ini juga menjadi sorotan warganet yang menyinggung hal-hal kecil bisa ‘menyelamatkan’ nyawa seseorang, termasuk makan soto.

    Menanggapi kasus tersebut, Psikolog dari Ohana Space Veronica Adesla mengatakan setiap orang memiliki survival instinct atau naluri bertahan hidup. Menurut Veronica, survival instinct biasanya menjadi faktor penentu pada tindakan mengakhiri hidup.

    “Biasanya di saat critical, insting untuk hidup ini teraktivasi bisa karena banyak hal. Misal, ‘ohh kalau ini aku lakukan dan tidak berhasil, aku malah menambah beban orang lain, kalau aku jadi cacat bagaimana?’” kata Veronica saat dihubungi detikcom, Jumat (13/6/2025).

    “Atau kemudian ada orang yang tiba-tiba menghubungi, dan kemudian dia merasa tidak sendiri. Kalau dia memaknai, ini berarti Tuhan nggak mau aku meninggal, masih ingin aku hidup,” sambungnya.

    Keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup, lanjut Veronica bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Menurutnya, sampai kepada keputusan itu, seseorang mungkin telah mendapatkan banyak tekanan dalam hidupnya.

    “Ada namanya major depressive disorder (MDD), orang yang udah masuk dan tingkatannya parah, akan ada action-nya,” kata Veronica.

    “Mulai dari keinginan untuk mengakhiri hidup, kemudian memikirkan caranya, mencari tahu cara-caranya, sampai kemudian perilaku yang dilakukan untuk mengakhiri hidup,” lanjutnya.

    Hal ini membuat netizen atau siapa saja jangan sampai meremehkan seseorang yang mengutarakan niatnya untuk mengakhiri hidup.

    “Mulut orang itu kan kadang jahat ya, ahh cuman cari perhatian aja kali. Nggak boleh banget kayak gitu,” tutupnya.

    (dpy/kna)

  • Rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Aturan Wajib Tes Mental bagi PPDS Diterapkan – Halaman all

    Rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Aturan Wajib Tes Mental bagi PPDS Diterapkan – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dukung aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) yang mewajibkan pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

    Ketua Umum PDSKJI Prof. Dr. Andi Jayalangkara Tanra, Sp.KJ(K) mengatakan, kebijakan ini merupakan langkah terobosan dalam menjaga kualitas dan profesionalisme dokter sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

    Profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran.

    “Pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis dan menjadi bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan,” tulis pertanyaan resmi yang diterima Minggu (13/4/2025).

    Kesehatan jiwa tenaga medis harus menjadi perhatian bersama, sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional.

    PDSKJI meyakini bahwa dokter yang sehat secara mental akan mampu memberikan pelayanan yang lebih aman, empatik, dan berkualitas tinggi.

    Dalam konteks ini, pelaksanaan tes kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebagai bentuk penghakiman, melainkan sebagai bagian dari sistem mutu dan pembinaan profesional yang bersifat manusiawi.

    Berikut Rekomendasi PDSKJI:

    1. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa secara berkala di seluruh institusi pendidikan kedokteran spesialis, minimal satu kali setiap tahun menggunakan wawancara klinis serta alat ukur psikologis yang tervalidasi secara ilmiah.

    2. Penerapan pendekatan edukatif dan non-stigmatisasi dalam proses pemeriksaan, guna memastikan bahwa tes ini menjadi bagian dari pengembangan profesional, bukan sebagai alat kontrol atau penilaian semata.

    3. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    4. Menjaga kerahasiaan dan etika profesional selama proses skrining dan tindak lanjut, sesuai dengan prinsip-prinsip kedokteran dan kesehatan jiwa.

    5. Mendorong kolaborasi lintas profesi antara institusi pendidikan, organisasi profesi kedokteran, dan lembaga pemerintah untuk
    mendukung implementasi kebijakan ini secara berkelanjutan.

    6. Menjaga kesehatan jiwa dokter adalah bagian dari menjaga keselamatan pasien dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan.

    PDSKJI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dan institusi pendidikan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi, sehat, dan profesional.

    Sebelumnya, Kemenkes menyatakan tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi test kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik. 

    Upaya ini untuk merespons tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP yang merupakan peserta PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Undap).

    Tes kejiwaan akan dilakukan kepada PPDS seluruh angkatan.

    “Kemenkes akan melakukan pemeriksaan mental juga untuk para peserta dokter spesialis sehingga peristiwa (dr PAP) tidak lagi terjadi,” tutur Wakil Menteri Kesehatan (wamenkes RI) Prof Dante Harbuwono saat ditemui di Puskesmas Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (10/4/2025).

    Ia menerangkan, seluruh dokter PPDS maupun calon PPDS harus mengikuti tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory atau tes MMPI.

    “Gunanya untuk pemeriksaan keseluruhan kesehatan jiwa. Ini untuk pencegahannya tes MMPI, tes mental, untuk prosedur pendidikan. Mereka (calon dokter) tidak hanya pintar, tapi mereka juga sehat secara jasmani dan secara rohani,  supaya mereka bisa melaksanakan tugas dokter yang mulia itu menangani masyarakat dari dalam hati dan tidak melakukan penyalahgunaaan wewenang,” jelas dia.

  • Perhimpunan Dokter Jiwa Dukung Penuh Wacana Tes Kesehatan Mental Peserta PPDS

    Perhimpunan Dokter Jiwa Dukung Penuh Wacana Tes Kesehatan Mental Peserta PPDS

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin akan mewajibkan tes kesehatan mental bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Keputusan tersebut diambil oleh Menkes mengingat ada beberapa kasus yang melibatkan PPDS.

    Kebijakan ini dilakukan guna mencegah adanya masalah kesehatan mental yang dilakukan oleh dokter residen. Menyusul terjadinya pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter PPDS Priguna Anugerah terhadap anak pasien.

    “Ini kan bisa dicegah ini kan masalah kejiwaan mental, sekarang Kemenkes akan mewajibkan semua peserta PPDS yang mau masuk harus tes kesehatan mental dulu,” katanya ditemui di kediaman Presiden Ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Sumber, Banjarsari, Kota Solo, dikutip detikJateng, Senin (14/4/5).

    Terkait hal itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyambut baik penerapan tes kesehatan jiwa berkala bagi peserta PPDS. Penerapan kebijakan ini merupakan langkah terobosan dalam menjaga kualitas dan profesionalisme dokter sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

    “Profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran,” demikian keterangan resmi PDSKJI yang diterima detikcom, Senin (14/4/2025).

    PDSKJI mengatakan pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis dan menjadi bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan.

    Kesehatan jiwa tenaga medis juga harus menjadi perhatian bersama sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional.

    “Kami meyakini bahwa dokter yang sehat secara mental akan mampu memberikan pelayanan yang lebih aman, empatik, dan berkualitas tinggi. Dalam konteks ini, pelaksanaan tes kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebagai bentuk penghakiman, melainkan sebagai bagian dari sistem mutu dan pembinaan profesional yang bersifat manusiawi,” lanjut keterangan tersebut.

    Di sisi lain, PDSKJI juga memberikan sederet rekomendasi terkait pelaksanaan skrining kesehatan jiwa untuk tenaga medis, termasuk peserta PPDS. Di antaranya sebagai berikut.

    1. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa secara berkala di seluruh institusi pendidikan kedokteran spesialis, minimal satu kali setiap tahun menggunakan wawancara klinis serta alat ukur psikologis yang tervalidasi secara ilmiah.

    2. Penerapan pendekatan edukatif dan non-stigmatisasi dalam proses pemeriksaan, guna memastikan bahwa tes ini menjadi bagian dari pengembangan profesional, bukan sebagai alat kontrol atau penilaian semata.

    3. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    4. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    5. Mendorong kolaborasi lintas profesi antara institusi pendidikan, organisasi profesi kedokteran, dan lembaga pemerintah untuk mendukung implementasi kebijakan ini secara berkelanjutan.

    “Menjaga kesehatan jiwa dokter adalah bagian dari menjaga keselamatan pasien dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan. PDSKJI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dan institusi pendidikan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi, sehat, dan profesional,” kata PDSKJI.

    (suc/up)

  • Merasa Tak Bisa Pulih dari Bipolar, Pria 28 Tahun Memilih ‘Bunuh Diri Medis’

    Merasa Tak Bisa Pulih dari Bipolar, Pria 28 Tahun Memilih ‘Bunuh Diri Medis’

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Seorang pria di Belanda berusia 28 tahun memilih mengakhiri hidupnya dengan euthanasia atau bunuh diri medis. Ia memilih euthanasia daripada harus terus hidup dengan penyakit mental.

    Diberitakan People, Joseph Awuah-Darko yang merupakan seorang seniman Inggris-Ghana, didiagnosis gangguan bipolar dan telah mendokumentasikan perjuangannya selama puluhan tahun dengan masalah mental di media sosial.

    Setelah perawatannya gagal dan tidak ada kesembuhan, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kini, ia sedang menunggu persetujuan untuk euthanasia, yang bisa menghabiskan waktu hingga empat tahun.

    “Hai, saya Joseph, saya bipolar dan pindah ke Belanda untuk mengakhiri hidup saya secara medis,” tutur Joseph.

    Gangguan bipolar merupakan kondisi manik-depresif pada otak yang menyebabkan perubahan ekstrem pada suasana hati dan tingkat energi. Ada empat jenis dasar gangguan ini, yang ditandai dengan periode kegembiraan dan hiperaktif yang dikenal sebagai episode manik, yang kemudian diikuti tahap depresif saat pasien mengalami perasaan sedih dan depresi.

    Dalam video yang diunggah di Instagram, Joseph mengatakan bahwa dia setiap hari bangun dengan rasa sakit yang hebat. Hal itulah yang membuatnya memilih kematian yang dibantu secara medis.

    Dia menghabiskan waktu lima tahun untuk merenungkan keputusannya sebelum mengajukan permintaan resmi ke Euthanasia Expert Centre di Belanda.

    “Saya tidak mengatakan bahwa hidup (sebagai sebuah fenomena) yang tidak layak dijalani. Yang ingin saya katakan adalah beban mental saya sudah benar-benar tidak tertahankan,” jelas Joseph.

    “Saya tidak istimewa, seperti banyak orang berusia 20-an. Kelelahan yang terus-menerus, beban hutang, depresi yang melumpuhkan, siklus media yang penuh kekerasan, dan realitas distopia AI… semua terasa berat. Realitas yang saya hadapi sebagai bipolar memperburuk semuanya,” lanjutnya.

    Kondisi tersebut yang membuat Joseph merasa siap untuk meninggalkan kehidupannya dengan euthanasia.

    Di Belanda, euthanasia menjadi legal saat Undang-Undang Pengakhiran Hidup atas permeintaan dan bunuh diri dengan bantuan (prosedur peninjauan) disahkan pada April 2001. Dan mulai berlaku pada April 2002.

    Dengan disahkannya undang-undang tersebut, Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan euthanasia. Situs web resmi pemerintah negara tersebut menyatakan bahwa prosedur tersebut dilakukan oleh dokter yang memberikan ‘dosis fatal obat yang sesuai kepada pasien atas permintaannya sendiri’.

    “Ada martabat yang melekat dalam melakukannya dengan cara ini, dengan banyak ketenangan, kesabaran, dan pengertian karena mengetahui bahwa Anda tidak akan ditemukan tak bernyawa oleh orang lain, bukan kondektur kereta, bukan saudara Anda, bukan teman-teman Anda,” terang Joseph.

    “Anda akan mengakhiri hidup tanpa kekerasan dengan bantuan medis, dengan dukungan, dengan ketenangan dari orang-orang yang mencintai Anda.”

    Setelah membagikan kisahnya kepada publik, Joseph menerima tanggapan dengan emosi yang campur aduk. Ada yang menghormati keputusannya dan ada yang memohon untuk mengubah pikirannya.

    Selain itu, Joseph menerima lebih dari 100 pesan dari orang asing yang mengundangnya untuk makan malam bersama. Ia menyebutnya sebagai ‘The Last Supper Project’, yang akan dilakukan dengan bepergian dan makan bersama orang asing sambil menunggu persetujuan permintaan euthanasianya.

    Sejauh ini, Joseph telah bepergian ke Paris, Milan, Brussels, dan Berlin untuk 57 kali makan malam, yang didokumentasikannya di media sosial. Dia telah merencanakan lebih dari 120 kali makan malam lagi hingga bulan Agustus.

    “Saya memiliki hubungan yang sangat emosional dengan makanan, mulai dari kenangan akan bawang goreng dan nasi jollof buatan ibu saya, menyantap prosciutto yang lezat di Venesia, hingga daging yang lezat di Argentina saat saya biasa menonton ayah saya bermain polo,” kata Joseph.

    “Saya berpikir, saat saya menjalani transisi tanpa kekerasan dalam hidup saya, mengapa saya tidak berhubungan dengan orang lain untuk makan bersama?” sambungnya.

    Meski sudah menjalani projek tersebut, Joseph masih terbangun dengan napas tersengal-sengal dan rasa sakit yang dalam terkait dengan bipolarnya. Ia berharap, orang dengan penyakit mental kronis harus diperhatikan dengan baik.

    (sao/kna)

  • Punya Penyakit yang Tak Bisa Sembuh, Wanita Ini Putuskan ‘Bunuh Diri Medis’

    Punya Penyakit yang Tak Bisa Sembuh, Wanita Ini Putuskan ‘Bunuh Diri Medis’

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Jessica Lantz (43) di Oregon, Amerika Serikat menjalani ‘bunuh diri medis’ euthanasia pada 12 Februari 2025. Hal itu dilakukannya di tengah perjuangan melawan penyakit parah dermatomiositis selama 10 tahun terakhir.

    Dermatomikosis merupakan autoimun langka yang dapat menyebabkan peradangan pada otot dan kulit. Penyakit ini bisa memicu kelemahan otot, nyeri, kesulitan menelan, hingga masalah paru-paru.

    Kru TV di Oregon berkesempatan merekam aktivitas Lantz 47 jam sebelum euthanasia dengan obat dilakukan. Dalam kesempatan tersebut, Lantz mengungkapkan salam perpisahannya.

    “Semoga beruntung untuk semua orang. Anda dapat merasakan diri Anda sekarat, bukan hanya rasa sakit atau hal-hal yang dikaitkan dengan penyakit, tapi Anda bisa merasakan tubuh berangsur-angsur sekarat,” ucap Lantz dikutip dari Express, Selasa (11/3/2025).

    Lantz merasa dirinya tidak akan hidup lebih lama lagi setelah bulan Februari. Hal itu yang membuat ia memutuskan melakukan euthanasia pada bulan tersebut. Lantz juga merasa tubuhnya sudah tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya.

    “Tergantung ke mana arahnya, ginjal saya akan berhenti berfungsi, saya akan mengalami serangan jantung atau stroke parah, atau saya tidak akan bisa bernapas, atau saya akan mati kelaparan,” sambungnya.

    Oregon telah melegalkan ‘bunuh diri medis’ sejak tahun 1997. Undang-undangnya tidak banyak berubah selama hampir 30 tahun.

    Layanan ini hanya bisa didapatkan oleh orang dewasa yang memiliki kemampuan mental dan penyakit parah. Pasien juga diperkirakan akan meninggal dalam waktu 6 bulan dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh undang-undang.

    Setelah dinilai oleh dua dokter dan dinyatakan memenuhi syarat, Lantz diberi resep obat yang disimpan dalam kotak terkunci.

    “Saya tidak berpikir dua kali atau ragu. Itu hanya lebih berat dan menyedihkan. Saya merasa akan merindukan semua orang,” tandasnya.

    (avk/kna)

  • Hartanya Digugat, Kakak Atiqah Hasiholan Idap Skizofrenia, Bisakah Gangguan Kejiwaan Ini Sembuh? – Halaman all

    Hartanya Digugat, Kakak Atiqah Hasiholan Idap Skizofrenia, Bisakah Gangguan Kejiwaan Ini Sembuh? – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Keluarga artis Atiqah Hasiholan kini tengah menghadapi masalah terkait hukum.

    Dalam kasus ini, cucu dari kakak pertama Atiqah melaporkan Ratna Sarumpaet yang merupakan nenek kandung atas dugaan penggelapan harta warisan.

    Terungkap bahwa kakak pertama Atiqah, yang bernama Muhammad Iqbal disebut-sebut mengidap gangguan kejiwaan atau Skizofrenia yang membuatnya harus diurusi sang ibu Ratna Sarumpaet, termasuk hartanya.

     

    Mengenal Skizofrenia

    Lalu apa itu skizofrenia?

    Berikut penjelasan Psikiater Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS.Jiwa.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor dr.Lahargo Kembaren, SpKJ.

    Dokter Lahargo mengatakan, gangguan ini mempengaruhi fisik, mental serta emosi pengidapnya.

    Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan kemampuan seseorang yang tidak bisa membedakan realita dan halusinasi.

    “Mereka sering kali mendengar suara bisikan yang berkomentar, suara bisikan menyuruh, dimana jika suara atau bisikan itu negatif maka bisa memicu kekerasan kepada orang lain,” ujar Humas Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP-PDSKJI) ini saat dihubungi beberapa waktu lalu.

    Ia menyebutkan, selain halusinasi pada pengidap skizofrenia paling lazim ditemui mengalami gejala delusi atau waham, dimana memiliki keyakinan dan persepsi yang salah misalkan yakin ada yang mau membunuh atau berbuat jahat, yakin ada yang memperhatikan, membicarakannya, merasa dirinya adalah sosok yang hebat dan punya kekuatan tertentu, cemburu atau curiga yang berlebihan.

    Gejala lain skizofrenia adalah pembicaraan tidak nyambung atau ngaco dimana yang bersangkutan sulit memahami apa yang dibicarakan demikian juga sebaliknya.

    Emosi yang tidak stabil, kadang marah, bisa juga jadi mengisolasi diri, tidak mau bersosialisasi.

    Maupun gangguan pada fungsi kognitif (menurunnya kemampuan untuk fokus, konsentrasi, memori, memecahkan masalah, psikomotor dan kelancaran verbal)

    Prosedur Pengobatan, Bisakah Skizofrenia Sembuh?

    Lebih lanjut, dokter Lahargo mengatakan, hidup bersama dengan orang dengan skizofrenia bukanlah akhir segalanya. Keluarga masih memiliki harapan bahwa yang bersangkutan bisa sembuh.

    Karena itu ia mengingatkan masyarakat untuk tidak menganggap remeh gangguan jiwa.

    Pasalnya, semakin lama ditangani maka gejalanya semakin sulit dan berat, sehingga dapat berujung pada kejadian fatal.

    “Hidup bersama dengan orang dengan skizofrenia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin karena setiap pasien memiliki harapan untuk sembuh bila mengikuti strategi terapi yang diberikan,” kata dia.

     

    Mengutip dari laman RS H.Marzoeki Mahdi, ada 3 pilar pengobatan skizofrenia yaitu farmakologi (obat-obatan), psikoterapi (terapi dengan percakapan), dan rehabilitasi psikososial (mengembalikan fungsi-fungsi yang sudah hilang).

    Obat-obatan yang diberikan termasuk ke dalam golongan anti psikotik yaitu obat yang bila digunakan bisa menstabilkan kembali zat kimia di otak penderitanya.

     Kemudian, Psikoterapi adalah suatu bentuk terapi dengan percakapan, pasien-pasien skizofrenia membutuhkan suatu percakapan yang produktif dan konstruktif untuk merubah sudut pandangnya terhadap suatu hal sehingga dia bisa memiliki cara berpikir yang baru dalam menghadapi kehidupan.

     Serta Rehabilitasi psikososial memegang peranan penting dalam terapi skizofrenia karena pasien biasanya memiliki banyak disabilitas yang membuatnya tidak bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, kemampuan mengurus diri, berkomunikasi, dan merencanakan sesuatu.

    Rehabilitasi psikososial terdiri dari berbagai upaya program yang memperlengkapi pasien dengan skizofrenia agar mampu kembali ke masyarakat dan berfungsi serta produktif dalam hidupnya. Beberapa terapi yang diberikan berupa latihan keterampilan sosial, latihan okupasi dan vokasional, psikoedukasi, remediasi kognitif, dimana akan membuat pasien kembali pada fungsinya yang semula sehingga masa depan yang cerah bisa diraih.

     

     

  • Punya Penyakit yang Tak Bisa Sembuh, Wanita Ini Putuskan ‘Bunuh Diri Medis’

    Kasus Bunuh Diri RI Tinggi, Depresi Anak Muda Banyak Dipicu Faktor Orang Terdekat

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Tercatat sekitar dua persen penduduk Indonesia berusia 19 tahun ke atas mengalami masalah mental. Terbanyak berkaitan dengan depresi, gangguan kecemasan, hingga lebih serius skizofrenia.

    Mengutip laporan kepolisian, Direktur Jenderal Kesehatan Jiwa Imran Pambudi menyebut sepanjang 2023 dilaporkan lebih dari 1.350 kasus bunuh diri. Namun, angkanya diprediksi lebih besar dari yang dilaporkan, bak fenomena gunung es.

    “Diperkirakan angkanya mungkin tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang tercatat,” beber Imran dalam konferensi pers, Jumat (13/12/2024).

    Data ini sejalan dengan temuan beberapa tahun terakhir sejak 2018 hingga 2023. Nyaris teridentifikasi enam ribu kasus orang yang memiliki riwayat mengakhiri hidup atau mencoba melakukan percobaan bunuh diri.

    “Dari total itu, 230 orang meninggal, meskipun setelah dirawat di RS, ada karena menenggak racun, dan lain sebagainya,” tandasnya.

    Banyak kelompok muda disebutnya menghadapi persoalan depresi yang dilatarbelakangi faktor keluarga dan orang terdekat. “Jadi triggernya, seperti kasus kemarin, anak bunuh orangtua, karena mereka sendiri mengaku mendapat penekanan-penekanan,” imbuh dia.

    Luka psikologis yang tidak teratasi ditekankan Imran berdampak pada otak.

    “Orang lagi stres, saat di CT-scan otaknya berkabut,” tutur dia.

    Karenanya, diperlukan ‘stress relief’ dengan beragam media termasuk kegiatan menulis, menggambar, mewarnai. Terlebih, yang bersangkutan perlu pendampingan teman bicara.

    (naf/kna)

  • Studi Ungkap Banyak Bunuh Diri Terjadi Hari Senin, Apa Penyebabnya?

    Studi Ungkap Banyak Bunuh Diri Terjadi Hari Senin, Apa Penyebabnya?

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Kebanyakan kasus meninggal akibat bunuh diri terjadi pada Senin ketimbang hari lainnya. Hal ini terungkap melalui studi analisis global yang dilakukan selama hampir empat dekade.

    Studi itu juga menemukan risiko bunuh diri meningkat pada Hari Tahun Baru.

    Dikutip dari Euronews, penelitian yang diterbitkan di jurnal BMJ menganalisis 1,7 juta kasus bunuh diri di 26 negara yang terjadi antara 1971 dan 2019. Para peneliti menemukan risiko bunuh diri di Finlandia, Afrika Selatan, dan sejumlah negara di Amerika Selatan meningkat di akhir pekan.

    Di sisi lain, banyak negara di Amerika Utara, Asia, dan Eropa mengalami penurunan angka bunuh diri di akhir pekan. Tidak jelas apa yang mendorong tren ini, namun penulis studi mengungkapkan tekanan kerja di awal minggu, konsumsi alkohol di akhir pekan, dan isolasi sosial di sekitar hari libur dapat menjadi faktor yang berperan.

    Profesor psikologi dari Nottingham University, Brian O’Shea mengatakan peningkatan risiko bunuh diri di Hari Tahun Baru sebagian disebabkan oleh rasa takut atau kecemasan yang menyertai saat mabuk.

    “Mungkin penjelasan yang paling logis adalah orang-orang minum lebih banyak dari biasanya pada Tahun Baru, dan jika Anda sudah menghadapi tekanan emosional, dan juga harus menghadapi penarikan fisiologis dari alkohol, itu dapat membuatnya semakin parah dan mendorong Anda melewati batas,” kata O’Shea.

    Ia menambahkan risiko tersebut bisa sangat serius bagi pria, yang cenderung minum lebih banyak dan memiliki jejaring sosial yang lebih lemah dibandingkan wanita.

    Risiko Bunuh Diri di Hari Besar Lain

    Hingga saat ini, belum ada kesimpulan global tentang risiko bunuh diri di Hari Natal. Angka bunuh diri pada Hari Natal biasanya meningkat di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan, serta Afrika Selatan. Namun, menurun di negara-negara Amerika Utara dan Eropa.

    Para peneliti juga meneliti dampak Hari Tahun Baru Imlek di China, Korea Selatan, dan Taiwan. Mereka menemukan risiko bunuh diri hanya turun di Korea Selatan pada tanggal tersebut.

    Angka bunuh diri umumnya sedikit menurun pada hari libur nasional lainnya, meskipun terkadang meningkat satu atau dua hari kemudian.

    Para penulis studi menjelaskan ikatan keluarga dan sosial yang kuat mungkin dapat menjelaskan risiko bunuh diri yang lebih rendah pada hari libur. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian karena tingkat bunuh diri di setiap negara sangat berbeda-beda.

    (ath/kna)