Modus “Kuota Layanan” BPJS Tuai Sorotan Ombudsman, Bagaimana Modusnya?

28 February 2023, 17:18

TEMPO.CO, Jakarta – Pelayanan kesehatan kepada peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di beberapa rumah sakit tampaknya tidak berhenti menuai polemik.Jika sebelumnya marak sekali perbedaan sistem pengobatan dan pelayanan peserta BPJS Kesehatan dibanding dengan pasien umum, saat ini kasus yang muncul berbeda lagi. Ombudsman menyebutnya sebagai “kuota layanan”.Hal itu diungkapkan Asisten Ombudsman, Bellinda W. Dewanty dalam diskusi virtual pada Selasa, 28 Februari 2023.Bellinda menjelaskan pihaknya mendapatkan potensi maladministrasi di pelayanan BPJS Kesehatan, khususnya berkaitan dengan penerapan “kuota layanan” di fasilitas kesehatan (faskes).“Kami juga menyoroti ada peran penting dari BPJS Kesehatan dalam mengawasi “kuota layanan” penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ada di masing-masing faskes. Kami melihat BPJS Kesehatan belum maksimal dalam menerapkan fungsi pengawasan,” ujar dia.Padahal, kata dia, Ombudsman meyakini dari pihak Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, tidak menerapkan pembatasan kuota kepada para pasien.Menurut Bellinda, BPJS Kesehatan seharusnya memastikan dan mengkoordinasikan bahwa jumlah peserta BPJS yang mengakses pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat rujukan lanjutan (FKTRL) tidak mendapatkan penolakan.Jika rumah sakit A bisa melayani 30 pasien dengan rincian 20 pelayanan BPJS Kesehatan, 5 asuransi, dan 5 lainnya mandiri, seharusnya pihak BPJS Kesehatan harus memastikannya.“Memastikan secara betul bahwa 20 peserta BPJS ini sudah terlayani dengan baik,” ucap Bellinda.Tidak sekadar pembagian “kuota layanan” saja, menurut Bellinda, karena pada praktiknya banyak masyarakat mengaku merasa ditolak. Ombudsman menilai hal itu terjadi karena tidak ada standarisasi yang menyebabkan tidak terukurnya jumlah yang sudah ditetapkan, atau yang notabenenya menjadi kemampuan rumah sakit dalam melayani setiap hari.Dia menjelaskan, BPJS Kesehatan harus melakukan pengawasan terhadap jumlah penyelenggaraan layanan atau batasan kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Jika memang ada 20 pasien sehari yang mampu dilayani oleh BPJS Kesehatan dengan menggunakan kartu BPJS sejatinya memang 20 itu yang menjadi prioritas.“Tidak ada lagi kemudian kalimat-kalimat penolakan karena tidak bisa terlayani maka digunakan kuota dari mandiri ataupun asuransi,” tutur Bellinda.Selain itu, kata Bellinda, Ombudsman menilai bahwa faktor-faktor potensi maladministrasi itu berangkat dari adanya pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh badan pengawas rumah sakit (BPRS).Menurut dia, BPRS semestinya melakukan audit secara internal secara masif untuk memastikan penyelenggaraan pelayanan publik berjalan dengan maksimal.Masalah lainnya, dia berujar, tidak semua provinsi memiliki BPRS. Sehingga fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan evaluasi harus dimaksimalkan oleh dinas kesehatan yang ada di kabupaten dan kota tersebut. “Termasuk juga dari suku dinas yang ada di kabupaten dan kota,” tutur Bellinda.Pilihan Editor: Istri Hendra Kurniawan Buka Suara Terkait Vonis Suaminya: Ini Bahayakan Polri

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Statement

Fasum

Transportasi