Mengenang Buya Hamka, Ulama Besar dan Multi Talenta yang Diangkat ke Layar Lebar

28 March 2023, 15:00

FILM Buya Hamka yang diadaptasi dari sebuah novel biografi yang ditulis A. Fuadi akan turut meramaikan jagat perfilman Tanah Air pada 20 April 2023 mendatang. Film yang diklaim berbujet terbesar dalam sejarah sineas Indonesia ini mengangkat kiprah besar Buya Hamka dalam berbagai aspek kemajuan Indonesia.

 

Tokoh bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu memang bukan saja seorang ulama, melainkan juga tokoh lintas ilmu.  Chand Parwez, produser dari Starvision menjelaskan Buya Hamka adalah seorang tokoh yang mempunyai keahlian lengkap dan multi disiplin sehingga mampu menempatkan diri dan menjunjung berbagai ideologi islamis dan nasionalis.

 

“Hamkah adalah seorang alim ulama besar dunia, cendekiawan Islami, sastrawan dan budayawan, seorang yang berjuang lewat dunia jurnalis, tapi juga seorang politikus, pahlawan nasional dan tokoh pergerakan yang berjiwa nasionalis,” jelas Chand Parwez, produser dari Starvision saat ditemui Media Indonesia di Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (23/3).

 

Lahir di Kampung Molek, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908, Buya Hamka berayahkan Abdul Karim Amrullah yang merupakan pelopor Gerakan Ishlah (tajdid) di Minangkabau dan ibu bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang berasal dari keluarga seniman.

 

Melansir laman resmi Muhammadiyah, panggilan Hamka merupakan akronim dari namanya, sedangkan Buya adalah panggilan khas bagi seorang ulama berilmu untuk orang Minangkabau. Selain itu, Buya Hamka juga disebut sebagai Datuk Indomo, yaitu sebuah gelar yang diberikan kepada pemimpin sebuah suku atau klan di wilayah etnis Minangkabau.

 

Anak pertama dari empat bersaudara itu memiliki latar belakang pendidikan formal hingga usia 10 tahun di bangku kelas dua SD Maninjau. Setelah itu, Hamka lebih banyak mendapatkan ilmu di luar pendidikan formal seperti ilmu agama dari sebuah sekolah Islam milik ayahnya bernama Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

 

Di sana, Hamka juga mempelajari bahasa Arab serta mendalami kitab-kitab klasik, nahwu serta sharaf. Buya Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diajarkan oleh ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.

 

Pada usia remaja, Buya Hamka merantau ke tanah Jawa khsusunya Yogjakarta. Di sana dia mulai mempelajari ilmu agama secara luas dengan sejumlah ulama, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

 

Seolah tak hanya cukup memahami Islam dalam bentuk teks, Hamka juga belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fachruddin. Dari sana dia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.

 

Pada tahun 1927, Hamka memutuskan untuk merantau ke tanah suci dalam rangka mempelajari Islam dan menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Makkah, dia tidak langsung ke Minangkabau, namun singgah di kota Medan untuk beberapa waktu. Di kota inilah ia banyak menulis artikel di berbagai tulisan lewat harian Pelita Andalas.

 

Selain harian Pelita Andalas, Buya Hamka juga tercatat pernah bekerja sebagai wartawan di Seruan Islam, Bintang Islam, dan majalah milik Muhammadiyah. Di sela kegiatan sebagai seorang jurnalis, Buya Hamka memulai kiprahnya dalam bidang politik dan menjadi anggota Sarekat Islam.

 

Buya Hamka yang memiliki hobi membaca dan menulis itu dengan mudah mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan secara autodidak seperti filsafat, Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik dalam dunia Islam maupun dunia Barat. Melalui kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat meneliti karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal.

 

Selain itu, ia juga aktif di Muhammadiyah mulai dari tahun 1928 hingga 1953. Kemudian pada 1928, Buya Hamka ditunjuk sebagai ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang, hingga setahun kemudian dia mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan didapuk sebagai ketua Konsul Muhammadiyah di Makassar pada 1931.

 

Ketekunannya dalam berbagai kariernya itu membuat Buaya Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat pada 1946, hingga akhirnya dia didapuk sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 1953.

 

“Lewat film ini kita juga akan melihat bagaimana perjuangan awal seorang Hamka dimulai dari menjadi seorang wartawan. Pemirsa juga akan disuguhkan bagaimana seorang Hamka menempatkan dirinya dalam berbagai proses kehidupan sehingga ketokohan dan kebesarannya biaa menjadi suri tauladan bagi masyarakat Indonesia,” ungkap Chand Parwez.

 

Kefasehan Buya Hamka dalam berdakwah bukan hanya digemari oleh kaum muslim di Indonesia, namun juga diakui ulama-ulama di dunia. Salah satu jasa besar Buya Hamka dalam dunia Islam Indonesia adalah, lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI).

 

Sedangkan dalam karya seni, selain banyak menerbitkan buku-buku dakwah seperti tafsir Al Azhar, Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, dan masih banyak lagi, Buya Hamka juga menghasilkan karya seperti novel Merantau ke Deli, Dibawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan masih banyak lagi karyanya.

 

Ketokohan seorang Buya Hamka dan keluasan ilmu pengetahuannya dalam berbagai bidanh, serta rasa perduli yang tinggi terhadap nasib umat Islam, tidak hanya terkenal di kalangan nasional saja, tetapi juga Asia Tengga hingga Timur Tengah. Hal itu membuat Buya Hamka mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia.

 

Seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menjelaskan bahwa Buya Hamka layak difilmkan karena  jasanya yang begitu besar. Buya Hamka juga sosok yang berwibawa dan memikat. Haedar muda, kalah itu begitu mengagumi Buya Hamka, dirinya takjub dan ingin sesering mungkin ketemu dengan sosok ulama karismatik ini.

 

“Pemikiran dan kiprahnya luar biasa untuk umat dan bangsa, begitu inklusif dan humanis. Karya-karya sastranya juga melintasi semua kalangan secara luas. Bahkan beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Generasi muda dan milenial penting mengenal sosok Hamka untuk menjadi teladan dalam kehidupan,” katanya.

 

Pada 1964 menjelang tumbangnya orde lama, Buya Hamka yang sangat keras mengkritik sistem demokrasi terpimpin Soekarno. Saat itu ia juga dianggap pro terhadap Malaysia dan dituduh sebagai seseorang yang ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno. Hal itu membuat Hamka akhirnya dipenjara selama dua tahun.

 

Meski di dalam penjara, Buya Hamka terus berkarya lewat pena dan pemikirannya. Selama ditahan, dia menghasilkan sebuah karya yang hingga kini terus digunakan oleh umat Islam yaitu Tafsir Al-Azhar, karya yang membuat namanya tersohor hingga ke dunia Islam internasional.

 

Bagi Haedar, Buya merupakan sosok mozaik bagi Islam dan Indonesia. Buya Hamka bukan hanya meletakkan Islam sebagai value, melainkan karakter tasawuf juga menyertainya di dalam poltik, yang istilah tersebut saat ini dikenal sebagai perspektif irfani.

 

Lebih lanjut, Haedar mengungkapkan karakter-karakter itu teruji dan terbukti ketika Hamka dipenjara oleh Soekarno, dan ketika Soekarno meninggal, Buya Hamka mampu memaafkan dan menjadi imam salat jenazah sang proklamator.

 

“Jadi politik tanpa dendam kesumat itulah yang ditunjukkan oleh Buya Hamka. Politik damai, politik yang menghadirkan Islam sebagai dinnul rahmah (agama rahmah),” ungkap Haedar.

 

Buya Hamka juga pernah mengkritik para pihak yang mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila, baik dari kalangan pemuka agama dan kalangan nasionalis. Buya Hamka menegaskan, dan mengatakan jika Islam dan Pancasila diperlawankan dan dipertentangkan, itu adalah fitnah.

 

Kebesaran hati seorang Hamka itu tergambar lewat perkataannya saat masih hidup. “Saya seorang muslim yang sejati, otentik, karena itu saya berpancasila. Dan saya seorang pancasilais sejati, dan karena itu juga saya meletakkan Islam sebagai agama yang akan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia,” kutip Haedar menirukan Buya Hamka.

 

Pada hari Jum’at, 24 Juli 1981 Buya Hamka berpulang ke rahmatullah tepat di usia 73 tahun. Jasadnya dikebumikan di TMP Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Meski sudah tiada, jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memartabatkan Islam dan Indonesia. (M-1)