Liberalisasi dalam RUU Kesehatan, Benarkah?

9 February 2023, 12:22

Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui isi RUU Kesehatan untuk nantinya dibahas bersama pemerintah dan publik. Walau draft RUU belum secara formal diterbitkan, pihak yang kontra sudah memainkan narasi-narasi keliru yang menyebut RUU ini akan memicu liberalisasi sektor kesehatan, pro asing, dan merugikan masyarakat.Narasi anti-asing dan liberalisme, selain agama, adalah narasi paling seksi untuk memprovokasi publik. Harapannya, tentu saja, memicu gelombang demonstrasi untuk menolak RUU ini.Tapi mari kita cek dulu fakta-faktanya. Liberalisasi sektor kesehatan justru sudah terjadi saat ini dan pihak yang paling diuntungkan adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang besar dalam menentukan karier seorang dokter. Mengapa begitu?Liberalisasi sektor kesehatan dipicu oleh terbitnya Undang-Undang Praktik Kedokteran 2004 yang mengatur pengalihan sebagian besar penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) dari pemerintah ke IDI. Jika konsep “liberalisasi” diartikan sebagai hilang atau menurunnya pengaruh pemerintah dalam meregulasi dan mengatur, inilah yang terjadi.Memang benar, secara formal STR dikeluarkan oleh lembaga negara Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP oleh pemerintah daerah. Namun dalam prosesnya peran IDI dan organisasi dalam lingkungannya sangatlah besar.Contoh, KKI tidak bisa menerbitkan STR untuk dokter jika satuan kredit profesi (SKP) dokter bersangkutan dinilai belum cukup oleh kolegium. Pemda tidak bisa menerbitkan SIP untuk dokter jika IDI setempat dan perhimpunan dokter spesialis (untuk dokter spesialis) tidak mau mengeluarkan “rekomendasi”.Peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang “perizinan” tidak ada presedennya di ranah kedokteran negara-negara maju, bahkan di negara tetangga kita pun macam Malaysia, Singapura, atau Thailand. Masalah izin dan penjaminan kompetensi dokter adalah sepenuhnya wewenang pemerintah, tanpa terikat atau bahkan tersandera oleh organisasi profesi.Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (8/2/2023). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTOMenteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam dengar pendapat baru-baru ini di Komisi IX DPR mengeluhkan pemerintah tidak sepenuhnya bisa memerintah terkait pengelolaan dokter. “Give the government the right to govern atau berilah pemerintah wewenang untuk memerintah,” tuturnya ketika ditanya oleh Komisi IX terkait posisi Menkes dalam RUU Kesehatan.Budi menginginkan dalam RUU Kesehatan, wewenang terkait STR dan SIP dikembalikan sepenuhnya ke pemerintah dan tidak perlu ada ormas yang terlibat. Pemerintah harus berwenang untuk memastikan kompetensi dokter terjaga, bukan oleh ormas.Karenanya, semangat Menkes dan Baleg dalam RUU ini justru ingin menghilangkan “liberalisasi” tata kelola dokter, bukan sebaliknya. Namun IDI justru mengembuskan narasi sesat seolah-olah RUU ini adalah bentuk liberalisasi.Mungkin jika RUU ini disahkan, ada keuntungan ekonomi dan politik yang selama ini dinikmati IDI akan hilang. Tak heran jika mereka all out untuk menolak RUU ini karena pundi-pundinya akan berkurang atau bahkan hilang (biaya untuk memperoleh rekomendasi izin praktik dan sertifikat kompetensi itu lumayan besar, lo).Terkait narasi pro-asing dalam RUU, jika kita menyimak diskusi Baleg dengan stakeholder kesehatan yang disiarkan di Youtube DPR, dapat terlihat justru RUU ini akan memperkuat layanan kesehatan kita. Dalam artian, masyarakat kelas menengah dan atas tidak perlu berbondong-bondong ke luar negeri untuk berobat karena sulitnya akses ke dokter spesialis dan juga biaya yang mahal.Setiap tahun, orang Indonesia menghabiskan sekitar Rp160 triliun lebih untuk berobat di luar negeri. Ini berkontribusi menggerus potensi cadangan devisa kita.Dengan menolak RUU ini artinya IDI justru menyuburkan bisnis kesehatan negara asing. Jadi siapa yang pro dan siapa yang anti-asing? Jika kita bisa mengurangi cadangan devisa yang keluar tersebut, 10% saja atau Rp16 triliun, bisa dibayangkan berapa lapangan pekerjaan yang bisa tersedia untuk sektor kesehatan kita.IDI, PDGI, IAI, IBI dan PPNI audiensi dengan Fraksi PDIP, menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law, Senin (28/11). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparanLalu terkait provokasi RUU ini akan memperburuk layanan kesehatan. Ini juga narasi keliru. Berdasarkan diskusi Baleg dan stakeholder, justru RUU ini akan merubah mindset kebijakan kesehatan kita dari yang saat ini fokus ke kuratif (pengobatan) ke promotif (pencegahan). Biaya yang dikeluarkan negara untuk kuratif (rumah sakit dan BPJS) justru jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya pencegahan (posyandu dan puskesmas).RUU ini juga akan menjadi solusi untuk mengatasi krisis kurangnya dokter spesialis dengan membuka opsi program spesialis berbasis rumah sakit, dari yang selama ini hanya berbasis universitas. Apa bedanya? Program berbasis rumah sakit ini menganggap dokter sebagai pekerja magang dan akan mendapatkan upah; sementara spesialis berbasis universitas, dokter adalah mahasiswa yang belajar sehingga dari sisi keuangan negara tidak dapat diberikan upah.Tentunya, untuk melaksanakan pendidikan spesialis berbasis rumah sakit, pelaksanaannya harus betul-betul selektif dengan mempertimbangkan ketersediaan sarana dan SDM yang ada di rumah sakit terkait. Program studi terkait tetap perlu dilibatkan dalam hal penjaminan mutu pendidikan spesialis.Fakta menunjukkan dengan gamblang bagaimana sektor kesehatan kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pasien BPJS harus antre bahkan berhari-hari untuk mendapatkan layanan karena kurangnya dokter; sementara yang kaya akan ke luar negeri untuk berobat. RUU Kesehatan memang bukan solusi satu-satunya untuk mengatasi berbagai persoalan, namun ia akan memicu terjadinya reformasi mindset pengelolaan kebijakan kesehatan negara untuk menghilangkan liberalisasi, menciptakan ketahanan kesehatan dalam negeri, dan memperbaiki layanan kesehatan dengan mempermudah akses ke dokter juga fasilitas kesehatan.

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Statement

Transportasi