Karena Anies, PDIP Dendam NasDem?

10 October 2022, 16:30

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menyindir “biru” yang dinilai cenderung mengarah pada Partai NasDem telah lepas dari pemerintahan Presiden Jokowi karena mengusung Anies Baswedan sebagai capres 2024. Mengapa intrik ini bisa terjadi?

PinterPolitik.com
Deklarasi Partai NasDem yang secara resmi mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) menimbulkan respons minor dari PDIP. Partai besutan Surya Paloh bahkan mendapat sindiran terbuka yang cukup keras dari petinggi PDIP.
Dia adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang melontarkan sindiran dengan analogi warna biru bendera Belanda yang disobek saat Kemerdekaan Indonesia di Hotel Yamato.
“Itu di Hotel Yamato, di mana para pejuang kita kan ada bendera Belanda, birunya dilepas. Dan ternyata birunya juga terlepas kan dari pemerintahan Pak Jokowi sekarang karena punya calon presiden sendiri,” begitu bunyi sindiran Hasto kemarin.
Awalnya, Hasto menunjukkan lukisan di kantor DPP PDIP pada sejumlah tamu yang menghadiri acara perayaan HUT ke-77 TNI di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat.
Salah satu lukisan tersebut menggambarkan peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato – kini Hotel Majapahit – pada tanggal 19 September 1945 silam.
Hasto menilai langkah partai politik (parpol) yang telah mendeklarasikan capres secara langsung maupun tidak langsung mengganggu konsentrasi dan kinerja pemerintah saat ini.

– – –

Bahkan, dia menyindir parpol yang mendeklarasikan capres seakan menginginkan Presiden Jokowi segera lengser dari jabatannya.
Meskipun tak secara gamblang menyebutkan parpol dan kode “biru” yang dimaksud, analis politik dan publik secara otomatis mengarahkan maksud Hasto itu kepada Partai NasDem. Utamanya dengan kalimat “lepas dari pemerintahan” dan “mengganggu konsentrasi pemerintah”.
Menariknya, Partai NasDem tidak tinggal diam. Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya merespons pernyataan Hasto sebagai klaim tak berdasar.
Logika politik Willy seolah menemui relevansinya ketika Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu membandingkan deklarasi Prabowo Subianto sebagai capres Partai Gerindra pada 12 Agustus lalu.
Willy juga mengungkit bahwa Partai NasDem selalu mendukung kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi selama ini.
Memang, jika ditelaah secara objektif, pernyataan Hasto seolah memantik turbulensi internal koalisi parpol pengusung Presiden Jokowi yang notabene diisi pula oleh Partai NasDem.
Tercatat, Partai NasDem memiliki tiga kursi dalam Kabinet Indonesia Maju saat ini, yaitu Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate.
Oleh karena itu, pernyataan Hasto yang dinilai menyasar deklarasi Partai NasDem yang mencalonkan Anies sebagai capres 2024 menimbulkan pertanyaan tersendiri, yakni mengapa PDIP melakukannya?
Kemunafikan PDIP?

– – –

Sebagai parpol yang patuh terhadap arahan sang Ketua Umum serta posisinya sebagai Sekjen PDIP, bentuk sindiran Hasto boleh jadi telah direstui oleh Megawati Soekarnoputri. Inilah yang membuat hipotesis turbulensi politik besar yang masih terpendam di pemerintah agaknya akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat.
Terkait dengan motif di baliknya, paling tidak terdapat tiga kemungkinan yang mendasari sindiran keras Hasto dan PDIP.
Pertama, jika mengacu pada sindiran balik Willy Aditya mengenai Prabowo dan Gerindra, PDIP tampaknya mengalami semacam kekeliruan dalam menilai sokongan Partai NasDem terhadap Anies Baswedan di Pilpres 2024.
Bradley Dowden dalam tulisannya yang berjudul Fallacies menyebutkan salah satu bentuk dari kekeliruan fundamental dalam penilaian terhadap konteks tertentu yaitu double standard fallacy atau kekeliruan standar ganda.
Itu merupakan situasi ketika satu pihak memberikan penilaian terhadap satu konteks yang sama atau saling terkait namun dengan tolok ukur, panduan atau standar yang berbeda.
Dalam konteks sindiran PDIP kepada Partai NasDem, situasi tampak serupa terlihat dari bagaimana Partai Gerindra mengusung Prabowo sebagai capres.
Maka dari itu, apa yang dilakukan PDIP kiranya telah dapat dikatakan sebagai standar ganda.
Dalam konteks persepsi publik, standar ganda selalu meninggalkan impresi negatif karena menunjukkan adanya kemunafikan, bias, atau perilaku tidak adil dalam waktu bersamaan.
Kedua, selain kekeliruan standar ganda, ada kemungkinan pula bahwa sindiran PDIP terhadap Partai NasDem hanya merupakan intrik depan panggung semata layaknya habituasi politik selama ini.
Sosiolog asal Kanada Erving Goffman mempopulerkan konsep dramaturgi (dramaturgy) yang mengadopsi istilah di teater atau drama terkait adanya panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage) untuk menjelaskan interaksi sosial.
Dalam politik, dramaturgi kerap menjadi refleksi untuk menjelaskan bagaimana semunya realitas politik. Front stage atau apa ditampilkan di hadapan publik seringkali berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi (backstage).
Lalu, apakah Hasto dan PDIP sedang melakukan dramaturgi atas sindirannya terhadap Partai NasDem dan Anies?
Selain adagium “tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik”, jika melihat rekam jejaknya, PDIP masih memiliki level keterbukaan yang lebih baik terhadap Partai NasDem dan Anies Baswedan, dibandingkan, misalnya, dengan Partai Demokrat, PKS, hingga aktor seperti Habib Rizieq Shihab (HRS).
Bahkan, putri mahkota PDIP, Puan Maharani dalam sebuah kesempatan pada 23 Maret lalu sempat membuka peluang untuk berduet dengan Anies Baswedan di Pilpres 2024.
“Mungkin saja (duet dengan Anies), nggak ada yang tidak mungkin di politik. Perbedaan politik itu kan ya di politik, tapi pertemanan, silaturahmi kekeluargaan, saya rasa, saya sama Pak Anies nggak ada masalah,” begitu ungkap Puan dalam sebuah wawancara eksklusif di sebuah stasiun televisi.
Akan tetapi, ambisi PDIP di Pemilu 2024 kiranya akan berbenturan dengan ambisi Partai NasDem dan Anies yang mana kedua aktor tersebut ingin memenangkan 2024.
Oleh karena itu, terdapat kemungkinan ketiga mengenai alasan yang bisa jadi merupakan yang terkuat atas sindiran keras Hasto terhadap Partai NasDem. Apakah itu?

PDIP Butuh Musuh?
Tidak bisa dipungkiri, PDIP merupakan parpol terkuat di era Reformasi dengan berhasil menempatkan dua tokohnya sebagai RI-1, yakni Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo.
Selain itu, terdapat ciri khas dari PDIP dalam tiap edisi pemilu, bahkan di era Orde Baru, yaitu selalu memiliki musuh politik yang kentara.
Leopoldo Fergusson dan kawan-kawan dalam The Need for Enemies menjelaskan aktor politik akan selalu membutuhkan sosok musuh untuk mempertahankan keunggulan politik mereka. Tak lain, itu dilakukan demi mempertahankan dukungan politik.
Hal ini karena sejatinya mayoritas politisi dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah, yang mereka janjikan di awal-awal kampanye.
Namun, alih-alih menyelesaikannya dengan cepat, Fergusson dan kawan-kawan melihat politisi pasti akan mencari alasan agar masalah di negaranya dapat terus terjadi. 
Tujuannya adalah agar publik tetap memiliki alasan untuk melihat bahwa mereka masih membutuhkan kinerja politisi tersebut guna mempertahankan kestabilan dan keamanan di negerinya.
Selain karena hakikat alasan dukungan atas kinerja, keunggulan politik karena mempertahankan ceruk suara juga dapat menjadi justifikasi aktor politik kelas wahid untuk selalu membutuhkan musuh.
Konteks ini yang kiranya menjadi landasan sindiran Hasto terhadap Partai NasDem yang seolah ingin membuka “permusuhan” lebih awal menjelang Pemilu 2024.
Memang, rahasia kekuatan PDIP boleh jadi dikarenakan menjadi aktor yang selalu memiliki musuh. Saat masih bernama PDI, mereka menjadi momok bagi pemerintahan Soeharto dan puncaknya berhasil menjadi salah satu aktor pemantik Reformasi.
Di era Reformasi, PDIP bahkan memiliki nyali lebih untuk menjadi lawan politik tokoh ulama karismatik Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ihwal yang kemudian membuat Megawati berkuasa.
Periode berikutnya, Megawati – plus PDIP – memiliki rival politik sepadan dalam diri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat. Sepanjang 2004 hingga 2014, PDIP konsisten menjadikan SBY sebagai lawan politik demi mempertahankan ceruk suara loyalisnya. Strategi ini terbukti berhasil menempatkan PDIP  konsisten di tiga besar pemilihan legislatif.
Setelahnya, pada tahun 2014, lagi-lagi mereka memiliki musuh politik dalam sosok Prabowo Subianto dan Partai Gerindra. Kali ini, Mega dan PDIP berhasil memenangkan pertarungan dan naik ke tampuk kekuasaan selama dua periode.
Oleh karena itu, menjadikan Partai NasDem dan Anies sebagai lawan politik sejak dini boleh jadi merupakan strategi klasik PDIP menghadapi kontestasi elektoral. Apalagi, PDIP memiliki landasan bahwa ceruk suara yang tak suka dengan Anies, utamanya para kubu moderat, tentu bisa menjadikan partai banteng sebagai pilihan utama.
Bagaimanapun, Pilpres 2024 tampaknya akan sangat menarik jika berkaca pada intrik yang bahkan telah muncul saat ini. Akan tetapi, efek terhadap jalannya pemerintahan diharapkan tidak terjadi dan para aktor politik dapat secara profesional menunaikan tugasnya terhadap rakyat, negara, dan bangsa. (J61)