DPRD Papua Minta Kasus Mutilasi di Papua Pakai Peradilan Militer-Sipil

26 November 2022, 1:41

Jakarta, CNN Indonesia — Anggota DPRD Provinsi Papua Namantus Gwijangge meminta agar kasus pembunuhan disertai mutilasi empat warga Timika Kabupaten Mimika, Papua yang menjerat enam tersangka personel TNI serta empat warga sipil disidangkan secara peradilan koneksitas.
“Dorongan agar kasus mutilasi diselesaikan dengan mekanisme peradilan koneksitas berdasarkan temuan Pansus DPR Papua,” kata Namantus dalam keterangannya, Jumat (25/11).
Sebagai informasi, koneksitas dijabarkan secara rinci dalam Pasal 89 hingga Pasal 94 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu memberi ruang penyidikan secara bersama antara pengadilan sipil dan pengadilan militer atas kasus tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu, proses persidangan sebagaimana terkandung dalam Pasal 91 KUHAP ditentukan dari siapa pihak yang dirugikan.
Namantus menilai mekanisme peradilan yang dijalankan saat ini keliru. Terlebih terduga pelaku dari kalangan TNI diproses di peradilan militer, sementara pelaku warga sipil di peradilan sipil.

Padahal, sesuai Pasal 89 ayat 1 Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 KUHAP, suatu perkara pidana dilakukan bersama-sama oleh warga sipil dan anggota militer yang diperiksa oleh peradilan umum. Kecuali kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer, maka diadili oleh peradilan militer.
“Tapi kalau (mekanisme peradilan untuk Mayor Inf HFD, dkk) hari ini tidak. Jangan kan lebih dari satu, satu orang (anggota TNI) saja ikut terlibat maka mau tidak mau mekanismenya (peradilan koneksitas) harus dijalankan,” ujar dia.
Menurut Namantus, pertimbangan kasus mutilasi empat warga Nduga diselesaikan dengan mekanisme peradilan koneksitas berangkat dari titik berat korban. Bila titik berat korbannya warga sipil, maka peradilannya berlaku secara koneksitas yakni semua pelaku diadili di pengadilan umum.
Diketahui, saat ini proses peradilan untuk personel TNI Mayor Inf HF dan lainnya berlangsung di pengadilan militer Makassar, Sulawesi Selatan dan pengadilan militer Jayapura. Sedangkan, untuk pelaku warga sipil diadili di Pengadilan Negeri (PN) Mimika.

“Pertimbangannya adalah ketika titik berat korbannya sipil maka seharusnya bawa ke mekanisme koneksitas. Maka (pelaku) bawa ke mekanisme peradilan umum,” katanya.
Di sisi lain, Namantus mengatakan keluarga korban berharap agar enam tersangka prajurit TNI dijerat dengan hukuman mati, bukan dengan hukuman maksimal.
Berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan Pansus DPR Provinsi Papua, tambah dia, seharusnya pelaku dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Hal itu juga sesuai dengan permintaan keluarga korban.
“Kalau cuma maksimal, maksimal apa gitu, harus pasal yang jelas. Nah, pasal yang diminta keluarga adalah, karena ini pembunuhan berencana dan dimutilasi, maka minta pasal maksimalnya adalah pasal 340, hukuman mati. Nah ini yang kami dorong,” kata dia.
Peristiwa pembunuhan sadis yang dilakukan prajurit TNI terhadap empat warga Timika itu terjadi pada 22 Agustus 2022. Korban adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Leman Nirigi, dan Atis Tini.
Sebagai informasi empat warga sipil dan enam orang prajurit TNI dari Brigif 20 ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga Timika. Anggota TNI yang terlibat dalam kasus itu di antaranya Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc, dan Pratu R.

(rzr/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Tokoh

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi