Dampak Kolapsnya SVB AS ke RI, Begini Penjelasan 5 Ekonom!

13 March 2023, 18:38

Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah ekonom berpandangan bahwa kolapsnya salah satu bank besar di Amerika Serikat (AS) yakni Silicon Valley Bank (SVB) tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pasar keuangan di tanah air. Hanya saja memang, runtuhnya SVB perlu dijadikan perhatian khusus bagi otoritas terkait.
Paling tidak, dampak terbesar kebangkrutan SVB hanya membawa sentimen negatif bagi perbankan di AS, yang dikhawatirkan menurunkan kepercayaan nasabah di perbankan lainnya.
Kendati demikian, pernyataan regulator di AS yang menyatakan bahwa pihaknya akan menanggung deposan dari SVB pada malam lalu, memberikan sentimen positif secara umum dari sektor finansial global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oleh karena itu, dampaknya terhadap pasar keuangan global, terutama pasar keuangan di Indonesia tidak akan berpengaruh signifikan.
Namun semua ekonom sepakat, bahwa otoritas sektor keuangan dan moneter di Indonesia tidak boleh lengah dan bisa mengambil pelajaran untuk bisa memutuskan kebijakan yang lebih tepat ke depannya.
Berikut pandangan lengkap para ekonom di tanah air tentang dampak kebangkrutan SVB di AS ke Indonesia. Beberapa pandangan datang dari Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Juga ada pandangan dari Kepala Ekonom BCA David Sumual, Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah Redjalam, dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.

1. Bahana Sekuritas
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengungkapkan, bencana kebangkrutan SVB, tepat disaat The Fed berjuang keras melawan inflasi saat ini.
Saat ini, Overnight Interest Swap/OIS Amerika Serikat memperkirakan 10% probabilitas The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin minggu depan, dibandingkan ekspektasi 70% dari kenaikan suku bunga 50 bps minggu lalu.
“Dengan kata lain, ekspektasi suku bunga global turun 75 bps karena kekhawatiran siklus kenaikan suku bunga Fed yang agresif dapat menyebabkan kegagalan sistem keuangan,” jelas Satria dalam pernyataan resminya, Senin (13/3/2023).
“Secara efektif berarti bahwa, meskipun tidak ada perubahan dalam perkembangan inflasi, The Fed dan bank sentral lainnya tidak dapat menaikkan suku bunga dan menormalkan neraca mereka. Lebih buruk lagi, mereka sekarang terpaksa menurunkan suku bunga,” kata Satria lagi.
Sehingga, menurut Satria bank-bank sentral sekarang terjebak di antara batu dan tempat yang sulit. Apakah akan memprioritaskan inflasi atau memastikan sistem perbankan berfungsi dengan baik.
“Tetapi tindakan penyeimbangan mereka berarti suku bunga akan tetap lebih tinggi, bahkan lebih lama lagi,” jelas Satria.
“Kebangkrutan SVB baru-baru ini menyebabkan penguatan mata uang negara pasar berkembang dalam jangka pendek. Dalam pandangan kami, karena sentimen risk-off dapat kembali ketika pasar meyadari inflasi panas yang terus-menerus dan pasar kerja akan mendingin bahkan lebih lambat,” jelas Satria lagi.

2. Bank Mandiri
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan, gerak cepat regulator AS dinilai berhasil menahan sentimen negatif atas situasi dari kebangkrutan SVB.
Dari sisi fundamental, menurut Andry sektor perbankan di AS sekarang lebih baik, karena penempatan dari sisi portofolio yang berisiko sudah berkurang jauh.
Dampaknya ke Indonesia bisa terjadi kepada tiga sisi, yakni spill over ke antar sektor keuangan, antara start-up AS dan Indonesia, serta volatilitas nilai tukar dan bonds market. Namun sangat kecil dampaknya hal itu bisa terjadi.
“Dari sisi ini, Indonesia memiliki keterkaitan yang kecil dengan bank-bank yang memiliki masalah tersebut. Tingkat capital juga relatif tinggi untuk mengcover risiko likuiditas dan tingkat likuiditas perbankan Indonesia relatif ample,” jelas Andry.
“Satu lagi, regulator akan langsung bertindak cepat memitigasi dampak dari risiko volatilitas ini,” kata Andry lagi.

3. Bank Permata
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan dampak kebangkrutan SVB di AS, akan menyebabkan investor akan cenderung lebih berhati-hati dan selektif untuk mendanai startup di tanah air. Sehingga terjadi potensi penurunan dari sisi nilai.
Dari historisnya, kata Josua, pendanaan akan semakin sulit ketika suku bunga naik seperti sekarang ini. Ditambah, sentimen negatif dari kejadian kebangkrutan SVB ini.
“Tapi, dalam jangka panjang akan kembali melihat fundamental ekonomi kita. Kalau memang tetap prospektif tentu akan kembali lagi pendanaan itu kesini,” jelas Josua.
Sejak ada berita penurunan kinerja SVB, sentimen risk-off cenderung mendominasi pasar global, yang kemudian mendorong pelemahan Rupiah.
Namun, sejak diumumkannya bahwa regulator AS akan menanggung dana deposan, pada hari ini rupiah cenderung bergerak menguat hingga ke level Rp 15.300. Pun, yield obligasi juga cenderung menurun seiring dengan sentimen risk-on yang menguat.
Di jangka panjang, kata Josua bila peristiwa ini tidak memicu krisis keuangan di AS, dampaknya terhadap aset-aset keuangan cenderung terbatas.
Sementara itu, dampak dari bangkrutnya SVB secara umum belum akan mendorong pelemahan PDB Indonesia secara umum. “Kecuali bila krisis perbankan ini menjadi trigger lanjutan dari krisis global, seperti 2008,” jelas Josua.
“Bagi pemerintah, dalam hal ini KSSK, kasus SVB dapat menjadi pelajaran penting terkait concentrated risk serta risiko dari kepemilikan obligasi di sektor perbankan, yang bila tidak dikelola dengan baik, berpotensi mendorong krisis likuiditas perbankan,” kata Josua lagi.