BNPB Paparkan Bukti Bencana Makin Banyak saat Bumi Kian Panas

4 June 2023, 8:44

Jakarta, CNN Indonesia — Tren kenaikan jumlah bencana alam di Indonesia meningkat saat suhu rata-rata dunia terus naik.
“Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim,” ungkap Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6), lewat keterangan tertulis.
Berdasarkan data BNPB 2010 hingga 2020, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam naik hingga 82 persen. Hal yang sama terjadi secara global, khususnya sejak 1961.

“Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” urai Suharyanto.
Berdasarkan penelitian terbaru dari para ilmuwan di Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, suhu rata-rata sudah 1,1 derajat Celsius lebih tinggi dari angka pada periode 1850-1900.
“Laju kenaikan suhu dalam setengah abad terakhir ini merupakan yang tertinggi dalam 2.000 tahun,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres.
Senada, menurut layanan iklim Uni Eropa Copernicus 2022, delapan tahun terakhir (2015-2022) merupakan “delapan tahun terhangat yang pernah tercatat.”

Suhu rata-rata tahunan pada periode yang sama adalah 0,3°C di atas periode 1991-2020, atau 1,2°C lebih tinggi dari periode 1850-1900.
Data yang sama menyebut 2022 menjadi tahun terpanas kelima sejak pencatatan suhu ini dimulai pada abad ke-19. Di atasnya ada 2016, 2020, 2019, dan 2017.
“2022 adalah tahun terhangat kelima – namun, tahun terhangat [urutan] keempat hingga kedelapan sangat berdekatan.”
Kering dan basah
Lima bulan awal 2023 ini saja BNPB mencatat 1.675 kejadian bencana. Itu didominasi oleh bencana hidrometeorologi (yang terkait dengan siklus air, seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan) sebesar 99,1 persen.

“Dengan rincian 92,5 persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi,” tutur Suharyanto.
Pertama, bencana hidrometeorologi basah. Dia menilai akar permasalahannya adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, “yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.”
Ia menyebut urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat.
Sementara, alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan berkurangannya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.

Dampak dari perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut. Menurut catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir, bencana banjir rob meningkat 46 persen dari 35 kali kejadian di 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.
“Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir,” ucapnya.
Selain hidrometeorologi basah, BNPB mengungkap bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
“Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat,” ucap Suharyanto.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas lahan terdampak karhutla, khususnya lahan gambut, berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan.
Pada 2019, misalnya, dari 1.64 juta hektare lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara. 
“Ini semua menjadi menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal,” ujar Suharyanto.
Pemanasan global ini sendiri dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4).

CO2 naik menjadi 417 bagian per sejuta (ppm), yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 2 juta tahun. Senada, metana naik menjadi 1.894 ppm ke tingkat yang tidak terlihat dalam 800 ribu tahun.
“Konsentrasi atmosfer terus meningkat tanpa ada tanda-tanda melambat,” kata Vincent-Henri Peuch, direktur Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus.
Dua gas itu dihasilkan dari pemakaian BBM, batu bara, hingga industri peternakan.
(tim/arh)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi