Jember (beritajatim.com) – Penyelesaian persoalan ketidakakuran bupati dan wakil bupati tidak diatur dalam undang-undang. Pemberhentian bupati dan atau wakil bupati juga tidak mudah dilakukan.
Hal ini dikemukakan Aries Harianto, pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember, Jumat (24/10/2025), menanggapi ide pemakzulan Bupati Muhammad Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto, dengan alasan ketidakakuran sebagaimana disampaikan Aliansi Masyarakat Jember Bersatu kepada DPRD Kabupaten Jember Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
“Dalam peraturan perundang-undangan, tidak dikenal istilah pemakzulan. Pasal 78 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2014 hanya mengatur kepala daerah/wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan,” kata Aries.
Menurut Aries, tidak mudah menghentikan bupati dan wabup karena normanya sangat bias atau umum. “Kecuali jika bupati atau wabup melakukan perbuatan melawan hukum yang secara faktual bisa dibuktikan konkret,” katanya.
Bukan rahasia lagi jika sejak dilantik Presiden Prabowo pada Februari 2025, Fawait dan Djoko sudah tak akur. Dalam beberapa kesempatan, Djoko melancarkan kritik terhadap kebijakan Bupati Fawait. Terakhir, Djoko mengadukan jalannya pemerintahan Jember kepada Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara itu, Djoko hampir tidak pernah terlihat dalam sejumlah acara kenegaraan bersama DPRD Jember. Wajahnya juga nyaris tidak pernah terpampang di baliho maupun spanduk resmi pemerintah di ruang publik. Bupati Fawait justru lebih banyak tampil di baliho bersama istrinya Gyta Eka Puspita.
Masalahnya, menurut Aries, solusi hukum terhadap ketidakakuran bupati dan wakil bupati tidak diatur dalam undang-undang. “Namun jika disharmoni itu menyebabkan keresahan masyarakat dan terhambatnya pembangunan serta pelayanan publik, secara normatif bisa dijadikan pertimbangan untuk memanggil bupati dan wabup,” katanya.
“Dengan demikian perspektif publik menjadi acuan, bukan para pihak sebagai subjek yang tengah berkonflik, kecuali jika bupati atau wabup melakukan kebijakan kontroversial dan dinyatakan dilarang oleh hukum,” kata Aries.
Aries mencontohkan pembuatan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pribadi, golongan, maupun kelompok politik serta merugikan kepentingan umum.
Tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini menilai, parlemen sebenarnya punya peran untuk mendamaikan Bupati Fawait dan Wabup Djoko Susanto.
“DPRD memiliki otoritas untuk memanggil mereka atas dasar fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Satu sisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah sebagai satu organ, sisi lain dalam rangka kinerja dan produktivitas daerah melekat fungsi pengawasan,” kata Aries.
“DPRD pada prinsipnya, mewakili kepentingan masyarakat yang berarti apa yang dirasakan masyarakat serta-merta juga harus dirasakan DPRD,” kata Aries.
Aries berharap konflik Bupati Fawait dan Wabup Djoko bisa segera berakhir. “Bupati dan Wakil adalah figur tuntunan, bukan tontonan,” katanya. [wir]
