Cerita Dosen Cambridge Berhasil Autentikasi Violin Albert Einstein hingga Laku Dilelang Rp16,4 Miliar

Cerita Dosen Cambridge Berhasil Autentikasi Violin Albert Einstein hingga Laku Dilelang Rp16,4 Miliar

JAKARTA – Dr. Paul Wingfield, seorang komposer sekaligus Direktur Studi musik di Trinity College, Cambridge, tak pernah menyangka bahwa ia akan mengautentikasi violin yang dulunya dimiliki oleh fisikawan legendaris Albert Einstein.

Adapun, kisah yang terjadi secara tidak terduga itu dimulai saat Wingfield menghadiri acara duka iparnya, Joseph Schwartz. Saat itu, ia melihat salinan buku Einstein for Beginners—yang ditulis bersama oleh Joseph Schwartz—di samping foto keluarga seorang anak laki-laki yang sedang bermain violin.

Momen tersebut pun memicu terciptanya drama berjudul Einstein’s Violin—sebuah karya yang menggambarkan ulang kehidupan Einstein melalui musik. Demi menulis drama tersebut, Wingfield menghabiskan enam bulan penuh untuk meneliti ketertarikan Einstein pada musik. Ia mengumpulkan setiap hal yang pernah ditulis atau diucapkan oleh sang fisikawan mengenai musik.

Drama itu sendiri akhirnya ditampilkan perdana pada April lalu di Highgate, London utara, dan didedikasikan sebagai penghormatan kepada Schwartz.

“Saya mendedikasikan pertunjukan itu untuknya karena saya benar-benar menulisnya untuknya, secara retrospeksi. Dia pasti akan sangat menyukainya,” kata Wingfield, mengutip BBC, Selasa, 14 Oktober.

Namun setelah salah satu pertunjukan, Wingfield menerima pesan dari seorang juru lelang yang diawali dengan kalimat, “Saya tidak gila…” dan meminta bantuannya untuk memverifikasi violin yang berpotensi milik Einstein. Saat pertama kali memegang violin itu, ia mengakui adanya perasaan yang kuat.

“Saya punya reaksi naluriah saat pertama kali memegangnya bahwa itu asli,” katanya. “Tapi itu justru membuat saya semakin curiga. Jadi saya harus pergi dan melihat semua dokumen, semua surat, meneliti violin itu, dan menemukan detail hanya untuk mendapatkan setiap elemen, memastikan bahwa saya pikir itu adalah miliknya.”

Saat pemeriksaan, sang dosen ditemukan adanya ukiran “Lina” pada instrumen tersebut—nama yang diberikan Einstein untuk semua violinnya. “Dia berusia 15 tahun ketika mendapatkan violin ini. Itu adalah hal yang mungkin dilakukan seorang remaja, saya kira,” tuturnya.

Ia bahkan membandingkan ukiran tersebut dengan tulisan tangan Einstein saat masih sekolah dan menemukan kecocokan yang pasti. Salah satu detail yang paling mencolok dari instrumen itu adalah badam violin yang sedikit lebih panjang.

“Akan membutuhkan seseorang dengan tangan kiri yang cukup besar, yang melakukan semua penempatan jari pada senar, agar nyaman memainkannya,” imbuhnya.

Pengecekan pun berlanjut pada penemuan sinar-X dan grafik tangan Einstein, yang menegaskan bahwa tangan kirinya memang lebih besar dari tangan kanannya. “Itu adalah penemuan yang cukup menarik,” ujarnya.

Selanjutnya, violin Zunterer buatan tahun 1894 yang pernah dimiliki Einstein itu dilelang di Dominic Winter Auctioneers, dan terjual dengan harga yang sangat tinggi.

Semula violin tersebut diperkirakan hanya akan laku sekitar 300.000 poundsterling. Namun, instrumen itu akhirnya terjual jauh di atas ekspektasi dengan harga mencapai 860.000 poundsterling (sekitar Rp16,4 miliar)

“Kami semua sedikit terkejut pada akhirnya ketika palu akhirnya diketuk… itu adalah momen yang cukup emosional, tetapi saya sangat senang telah memegangnya di tangan saya, terlibat dengannya dan kehidupannya, dan saya berharap suatu hari nanti orang lain akan memainkannya,” pungkas Wingfield.