Bencana banjir di Bali pekan lalu disebut sebagai akibat langsung dari hujan ekstrem yang mengguyur pada 9 September 2025. Data mencatat intensitas hujan mencapai 245,75 mm dalam sehari.
“Itu artinya apa? Dalam tanggal 9, 1 meter persegi tanah itu didatangi hujan lebih hampir 1 drum atau 245 liter. Jadi kalau total general untuk DAS Ayung tadi yang 49.500 itu ada 121 juta meter kubik yang turun pada hari itu,” ungkap politisi PAN ini.
Namun, minimnya tutupan hutan serta sedimentasi sungai membuat daya serap air sangat rendah. Kondisi ini diperparah dengan timbunan sampah di sejumlah aliran sungai.
“Upaya serius Bapak Gubernur untuk membangun penyelesaian sampah di hilir, di sumbernya, sepertinya wajib, tidak boleh lagi ditunda,” tambah Menteri.
Selain faktor curah hujan ekstrem, Menteri juga menyoroti alih fungsi lahan di Bali yang terus berlangsung sejak 2015 hingga 2024.
“Itu sudah berlangsung lama ya, karena memang di sana dari 2015 sampai 2024 kemarin, itu terjadi konversi lahan dari hutan menjadi non-hutan itu seluas 459 hektare. 459 Itu untuk pulau lain mungkin kecil, tetapi untuk pulau Bali sangat berarti karena sisa hutannya hanya 1.500 (hektare) gitu,” jabarnya
Atas kondisi ini, Menteri meminta agar Pemerintah Provinsi Bali segera melakukan moratorium terhadap konversi lahan untuk pembangunan baru.
“Jadi kita harapkan tidak ada lagi konversi-konversi lahan untuk kegiatan terbangun, seperti vila, cottage, dan lain-lain yang akan mengganggu serapan air,” harap Hanif.
Karena ia merasa, posisi Bali sendiri sudah tidak cukup kuat dalam menahan kalibrasi alam, sehingga ada optimalisasi gedung, peningkatan kapasitas namun tidak merubah peluasan.
“Saya sangat berharap Bapak Gubernur segera menghentikan konversi-konversi lahan di Bali. Penting sekali ini,” tutur dia.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344933/original/013786700_1757497040-1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)