Takut Bayar Royalti, Pemilik Warkop di Luwu Matikan Musik, Pengunjung Anjlok 30 Persen Regional 8 Agustus 2025

Takut Bayar Royalti, Pemilik Warkop di Luwu Matikan Musik, Pengunjung Anjlok 30 Persen
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        8 Agustus 2025

Takut Bayar Royalti, Pemilik Warkop di Luwu Matikan Musik, Pengunjung Anjlok 30 Persen
Tim Redaksi
LUWU, KOMPAS.com –
Soal kewajiban membayar royalti untuk lagu yang diputar di kafe dan warung kopi (warkop) kembali menjadi polemik.
Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kebijakan ini membuat pemilik usaha kecil khawatir, terutama karena bisa menambah beban biaya operasional dan berpotensi menurunkan jumlah pelanggan.
Aturan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Regulasi tersebut mewajibkan setiap tempat usaha komersial yang memutar musik untuk membayar royalti kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
Fadli (32), pemilik Warkop 48 di Kecamatan Belopa, mengaku bingung dengan peraturan ini. Ia khawatir kebijakan royalti akan berdampak pada usahanya yang pendapatannya tidak menentu.
“Takutnya kami berdampak pada pelanggan karena tidak ada hiburan-hiburan untuk dengar musik,” kata Fadli saat dikonfirmasi, Jumat (8/8/2025) sore.
Menurut Fadli, musik adalah daya tarik utama bagi pelanggannya. Sejak isu ini mencuat, ia memutuskan untuk tidak lagi memutar musik di warkopnya. Akibatnya, jumlah pengunjung menurun drastis.
“Penurunan pengunjung mencapai 30 persen. Biasanya banyak pengunjung yang request lagu,” keluhnya.
Fadli berharap ada sosialisasi yang jelas dan solusi yang tidak memberatkan pelaku UMKM.
“Kami pelaku UMKM dirugikan dengan hal ini karena akan bertambah ongkos,” tambahnya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo, Alghazali, menjelaskan bahwa pemutaran lagu di tempat usaha untuk kepentingan komersial memang diatur oleh undang-undang. Menurutnya, pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan royalti.
Alghazali menambahkan, banyak pemilik usaha salah paham, merasa sudah membayar royalti dengan membeli CD atau berlangganan layanan musik digital seperti Spotify.
“Padahal, langganan tersebut bersifat personal dan tidak memberikan lisensi untuk penggunaan komersial di ruang publik,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya kerja sama antara berbagai pihak, mulai dari lembaga manajemen kolektif (LMK), pencipta musik, hingga perhimpunan pemilik kafe, untuk memberikan edukasi yang komprehensif.
“Sosialisasi terkait perbedaan ini sering kali tidak sampai kepada pelaku usaha,” pungkas Alghazali.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.