Ahli Sebut Transfer Data Pribadi RI ke AS Keniscayaan Era Digital

Ahli Sebut Transfer Data Pribadi RI ke AS Keniscayaan Era Digital

Jakarta, Beritasatu.com – Guru Besar Ilmu Hukum Cyber dan Digital Universitas Padjajaran (Unpad) Ahmad M Ramli menilai, transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat (AS) merupakan suara keniscayaan di era digital. Menurut Ramli, transfer data pribadi tersebut sudah menjadi fenomena lumrah dan tak terhindarkan dalam transaksi bisnis internasional.

“Hal yang harus dipahami adalah, transfer data pribadi tak berarti kita mengalihkan pengelolaan seluruh data pribadi WNI kepada Pemerintah AS,” ujar Ramli kepada wartawan, Sabtu (26/7/2025).

Ramli mengatakan, di era digital, mekanisme transfer data pribadi baik domestik maupun antarnegara sejatinya sudah berlangsung lama. 

Menurut dia, transfer data pribadi ke  AS tak hanya dilakukan Indonesia, tetapi sudah dilakukan negara lain. Bahkan, negara-negara Uni Eropa yang melindungi data pribadinya secara ketat juga sudah membuat kesepakatan terkait data pribadi dengan Pemerintah AS.

“Berkaca dari apa yang dilakukan Uni Eropa, mereka telah menjalin kesepakatan dengan AS dengan transaksi perdagangan senilai US$ 7,1 triliun. Bahkan, Komisi Eropa telah mengadopsi EU-US Data Privacy Framework (DPF) yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2023,” tutur Ramli.

Sementara, terkait kerja sama RI dengan Amerika, transfer data pribadi itu secara eksplisit disebut move personal data out dalam fact sheet (lembar fakta) Gedung Putih berjudul The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal. Dalam lembar Fakta, kata Ramli, secara jelas menyebut langkah menghapus Hambatan Perdagangan Digital antara Indonesia dan AS.

“Poinnya adalah, Indonesia akan mempermudah transfer data pribadi ke AS dengan mengakui AS sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai di bawah hukum Indonesia,” ungkap dia.

Menurut Ramli, hal tersebut merujuk pada mekanisme transfer data pribadi lintas negara secara kasus per kasus, untuk memastikan aliran data tetap sah dan terlindungi dalam era ekonomi digital. 

Dia menegaskan, transfer data pribadi telah berlangsung di mana-mana. Misalnya, seseorang yang akan terbang ke New York dari Jakarta, maka akan terjadi transfer data pribadi yang bahkan bisa melibatkan bukan hanya satu negara. Belum lagi jika menggunakan maskapai yang berbeda.

Contoh lain, misalnya pengguna internet di Indonesia yang menurut data APJII 2025 sebanyak 221,56 juta jiwa juga telah memberikan data pribadinya ke berbagai platform digital global untuk diproses dan ditransfer antarteritorial dan yurisdiksi.

Pemberian data pribadi itu dilakukan mulai saat membuat akun email, Zoom, Youtube, WhatsApp, ChatGPT, Google Maps, atau lainnya.

Ramli menegaskan, transfer data pribadi adalah keniscayaan. Menurutnya, tanpa proses ini, tidak akan ada layanan dan transaksi digital.

“Dengan kesepakatan RI-AS ini, maka pekerjaan rumah besarnya adalah bagaimana negara melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi dan menegakan kepatuhan UU PDP. Tujuannya, agar transfer data ke mana pun di dunia, tetap dilakukan secara akuntabel dan patuh hukum,” tegas Prof Ramli.

Lebih lanjut, Ramli mengatakan pekerjaan rumah pemerintah setelah adanya kesepakatan dengan AS ini adalah bagaimana mengawasi praktik transfer data pribadi ke berbagai negara agar patuh pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

“Dalam kaitan ini, Lembaga Pelindungan Data Pribadi berperan sangat strategis untuk menjalankan ketentuan UU PDP secara optimal. Pemerintah sebaiknya tak menunda lagi terbentuknya Lembaga PDP ini,” pungkas Ramli.