Jombang (beritajatim.com) – Tangis Masruroh pecah saat menerima surat tagihan listrik dari PLN. Nenek penjual gorengan asal Dusun Blimbing, Desa Kwaron, Kecamatan Diwek, Jombang ini tak kuasa menahan pilu setelah mengetahui ia dibebani utang tagihan listrik sebesar Rp12 juta lebih.
Masruroh, seorang janda yang kini hidup sebatang kara, mengaku tidak tahu-menahu perihal tuduhan pencurian listrik yang dituduhkan kepadanya sejak 2022. Ia juga merasa kebingungan karena nama yang tercantum dalam tunggakan adalah mendiang ayahnya, Naif Usman, yang telah meninggal dunia lebih dari tiga dekade lalu, tepatnya tahun 1992.
Menjelang Lebaran kemarin, tagihan tersebut kembali mencuat, disertai ancaman pemblokiran aliran listrik di rumah sederhana yang ia tinggali. Padahal, aliran listrik tersebut juga digunakan oleh tetangganya yang menyewa ruangan di samping rumah Masruroh. Kamis siang, blokir itu benar-benar dilakukan—token listrik tak bisa lagi diisi.
“Uang dari mana saya bisa bayar sebanyak itu? Saya hanya hidup dari jualan gorengan keliling,” ujar Masruroh sambil tersedu. Ia berharap PLN bisa menghapus utang yang bukan atas perbuatannya. “Suami saya sudah meninggal, ayah saya juga. Saya harus gimana? Saya tidak mampu.”
Sementara itu, pihak PLN UP3 Jombang-Mojokerto melalui Team Leader Pelayanan Pelanggan, Virna Septiana Devi, menyatakan bahwa pelanggan dengan tunggakan tidak diperbolehkan menerima aliran listrik sebelum membayar atau mencicil tanggungan.
Dalam kasus Masruroh, utang tersebut mencapai Rp12,7 juta, yang disebut menempel pada ID pelanggan dengan daya 2200 watt yang masih aktif.
PLN mengakui hingga saat ini belum memiliki mekanisme penghapusan piutang pelanggan. Pengajuan keringanan pun harus melalui persetujuan manajemen regional, dan opsi satu-satunya adalah mencicil utang hingga lunas agar blokir listrik bisa dibuka.
Kasus Masruroh membuka mata soal peliknya nasib masyarakat kecil yang terjepit oleh sistem, sekaligus mempertanyakan keadilan dalam pemberlakuan kebijakan terhadap pelanggan yang tak lagi punya daya untuk menyuarakan nasibnya. [suf]
