Jakarta, Beritasatu.com – Jumat Agung merupakan salah satu hari paling sakral dalam kalender liturgi Kristen. Hari itu diperingati untuk mengenang wafatnya Isa Almasih, yang dalam Kristen dikenal sebagai Yesus Kristus, di kayu salib.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Jumat Agung merupakan momen spiritual yang penuh makna, mewakili penderitaan, pengorbanan, kasih, dan harapan akan penebusan dosa.
Dalam liturgi Kristen, Jumat Agung adalah bagian dari rangkaian Pekan Suci yang berpuncak pada perayaan Paskah, hari kebangkitan Kristus.
Pada hari inilah umat Kristiani diajak untuk merenungkan penderitaan Yesus sebagai bentuk kasih-Nya kepada umat manusia, serta meneguhkan iman akan pengampunan dan keselamatan.
Peristiwa Penyaliban Isa Almasih
Kisah penyaliban Yesus Kristus merupakan bagian sentral dalam kepercayaan Kristen. Menurut catatan Injil dalam Perjanjian Baru (terutama dalam Matius 26–27, Markus 14–15, Lukas 22–23, dan Yohanes 18–19), peristiwa ini terjadi di wilayah Yudea pada abad pertama, kemungkinan besar antara 30 hingga 33 Masehi.
Setelah mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para murid-Nya, yang juga menjadi momen institusi Ekaristi dalam tradisi Kristen, Yesus pergi ke Taman Getsemani untuk berdoa. Di sanalah Ia kemudian ditangkap oleh para prajurit atas perintah otoritas Yahudi, dengan pengkhianatan dari salah satu murid-Nya, Yudas Iskariot.
Yesus diadili oleh Sanhedrin (majelis Yahudi) dengan tuduhan menghujat Tuhan karena mengaku sebagai anak Allah. Karena hukum Yahudi tidak memperbolehkan eksekusi mati, Yesus diserahkan kepada otoritas Romawi.
Pontius Pilatus, gubernur Romawi saat itu, meskipun tidak menemukan kesalahan fatal, akhirnya tunduk pada desakan massa dan memutuskan penyaliban sebagai bentuk hukuman.
Penyaliban dilakukan di Golgota (yang berarti tempat tengkorak), sebuah bukit di luar tembok Kota Yerusalem. Yesus disalibkan di antara dua penjahat, menegaskan Ia dianggap sebagai kriminal oleh hukum dunia saat itu.
Makna Ucapan Terakhir dan Kematian-Nya
Selama disalibkan, Injil mencatat tujuh perkataan terakhir Yesus, yang masing-masing memiliki makna teologis mendalam.
Di antaranya adalah permohonan pengampunan bagi para algojo-Nya, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,”(Lukas 23:34), dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46).
Yesus wafat sekitar pukul tiga sore pada hari Jumat, menjelang Sabat Yahudi. Istilah “Agung” atau “Suci” disematkan untuk menandai kesakralan hari ini dalam iman Kristen. Setelah kematian-Nya, seorang anggota Sanhedrin bernama Yusuf dari Arimatea meminta izin kepada Pilatus untuk menguburkan tubuh-Nya. Tubuh Yesus dibaringkan di dalam sebuah makam batu yang baru, yang terletak di dekat lokasi penyaliban.
Dalam liturgi Gereja, Jumat Agung diisi dengan ibadat khusus yang khusyuk, termasuk pembacaan kisah sengsara Kristus, penghormatan salib, dan doa syafaat bagi dunia.
Makna Teologis Kematian Yesus
Bagi umat Kristen, kematian Yesus di kayu salib bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari karya penyelamatan Allah bagi umat manusia.
Paulus, salah satu tokoh utama dalam Perjanjian Baru, menulis dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Roma 5:8), “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”.
Penyaliban dipandang sebagai bentuk pengorbanan ilahi untuk menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu, Jumat Agung menjadi hari kontemplasi yang mendalam, menandai betapa besar kasih Tuhan yang rela mengorbankan Putra-Nya demi keselamatan umat-Nya.
Peringatan Jumat Agung bukan sekadar mengenang peristiwa tragis, melainkan momen iman yang menggugah kesadaran akan kasih dan pengorbanan sejati. Wafat Isa Almasih di kayu salib diyakini sebagai wujud nyata cinta Tuhan kepada manusia, menghapus dosa dan membuka jalan menuju keselamatan kekal.
