Allah telah Menyediakan, Apakah Kita Memanfaatkan?

Allah telah Menyediakan, Apakah Kita Memanfaatkan?

Jakarta, Beritasatu.com – Sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, Islam memahami betul bagaimana  psikologi manusia bekerja. Salah satu konsep penting dalam pembentukan  kepribadian adalah kebiasaan yang dilakukan secara berulang. Seseorang tidak  serta-merta menjadi pencuri, pembohong, atau pemalas dalam semalam.  

Kebiasaan buruk terbentuk melalui proses bertahap yang dimulai dari tindakan  kecil yang diulang-ulang hingga akhirnya menjadi bagian dari karakter  seseorang. Dalam hal ini, Islam menekankan pentingnya menjaga kebiasaan baik  sejak dini dan menghindari perbuatan dosa kecil yang dilakukan terus-menerus,  karena hal tersebut dapat mengarahkan seseorang pada kebiasaan buruk yang  sulit diubah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Mutaffifin: 14: 

َنُْوْك هسب َا يُْواما َكان ْمِْبههلٰى قُ لُوََن عاَرَْلَكاَّل ب 

“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan telah menutupi hati mereka.” (QS Al-Mutaffifin: 14) 

Jika ditelusuri lebih dalam, perilaku mencuri yang akhirnya menjadi karakter  seorang pencuri juga terbentuk melalui pola berulang. Awalnya, seseorang  mungkin merasa takut dan bersalah saat pertama kali mencuri. Namun, ketika  tindakan itu diulangi, rasa takut dan bersalah mulai berkurang, hingga akhirnya  hilang sama sekali. Pada titik ini, mencuri bukan lagi sekadar perbuatan, tetapi  telah menjadi bagian dari kepribadiannya. Konsep ini sejalan dengan firman  Allah dalam QS Al-Isra’: 84: 
 

يهبَٰدى سَْهاَُوهَْنِبهَُ ْعلَماُّْ ُكمبَفَ ر 

هلَتلٰى َشاكه 
 

ٖ ًَّل َ ْ ع 

َُلْمُكلٌّ ي اعْقُل ه   

“Katakanlah: ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan kebiasaannya masing-masing,  maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.’” (QS Al-Isra’:  84)

Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang bertindak sesuai dengan kebiasaannya,  baik atau buruk, dan kebiasaan itu yang akhirnya membentuk jalan hidupnya.  Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya membangun kebiasaan  baik agar seseorang terhindar dari perilaku yang dapat merusak dirinya sendiri  dan orang lain. 

Untuk bisa keluar dari kebiasaan buruk, seseorang harus membangun kebiasaan  baik sebagai penggantinya. Allah berfirman, 

ا ِتَِٔه ْب َن ٱل َّسي ِـٰـ ِت يُذَّْن ٱْل َح َسنَِإ 

“Sesungguhnya kebaikan itu menghapus keburukan”. (QS Hud: 114)  

Ini menunjukkan bahwa kebiasaan baik memiliki kekuatan untuk  menghilangkan kebiasaan buruk yang telah melekat dalam diri seseorang.  Namun, dalam praktiknya, mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah,  terutama jika kebiasaan buruk tersebut sudah berakar kuat dalam kepribadian  seseorang. 

Masalah utama dalam perubahan perilaku adalah ketika kebiasaan buruk sudah  mengristal, sehingga sulit diubah hanya dengan niat pribadi. Dalam kondisi  seperti ini, seseorang membutuhkan dorongan dari luar, yaitu lingkungan yang  mendukung. Psikologi modern menegaskan bahwa lingkungan sosial berperan  besar dalam membentuk kebiasaan seseorang. 

Jika seseorang dikelilingi oleh  orang-orang yang terbiasa berbuat baik, maka besar kemungkinan ia juga akan  terdorong untuk mengikuti kebiasaan tersebut. Sebaliknya, jika lingkungannya  mendukung kebiasaan buruk, maka sulit baginya untuk keluar dari lingkaran  tersebut. 

Dalam hal ini, Islam memberikan solusi melalui akomodasi yang disediakan di  bulan Ramadhan. Selama bulan ini, seluruh umat Muslim dianjurkan untuk  memperbanyak amal kebaikan dan menjauhi keburukan yang dapat  membatalkan puasa. Ini bukan sekadar ibadah individual, tetapi juga sebuah  mekanisme sosial yang membentuk lingkungan yang mendukung perbaikan diri.  Dengan adanya dorongan kolektif untuk berbuat baik, seseorang lebih mudah  membangun kebiasaan baik dan meninggalkan kebiasaan buruk, sehingga  Ramadhan menjadi momentum pembentukan karakter yang lebih positif.

Bulan Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga sebuah sistem yang  Allah sediakan untuk membantu manusia keluar dari kebiasaan buruk dan  menggantinya dengan kebiasaan baik. Selama satu bulan penuh, umat Muslim  diajak untuk mengendalikan hawa nafsu, memperbanyak ibadah, serta menjauhi  perbuatan dosa. Proses ini bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga  mekanisme psikologis yang membantu seseorang membangun disiplin diri dan  mengembangkan pola hidup yang lebih baik. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 

ن َك هرُٱلْمَوهْح َشآءَفهن ٱلََْ ٰى عْهن َه ان ٱل اصلَٰوةَ ت إ 

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al Ankabut: 45) 

Ini menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan dengan konsisten memiliki efek  besar dalam membentuk karakter seseorang. 

Salah satu cara Ramadan membantu seseorang keluar dari kebiasaan buruk  adalah melalui puasa. Puasa melatih seseorang untuk menahan diri dari hal-hal  yang secara naluriah diinginkan, seperti makan, minum, dan hawa nafsu. Dalam  psikologi, proses ini dikenal sebagai self regulation atau pengendalian diri,  yang merupakan kunci dalam mengubah kebiasaan buruk. 

Dengan  membiasakan diri menahan keinginan yang sebenarnya halal di siang hari,  seseorang juga akan lebih mudah menahan diri dari kebiasaan buruk lainnya,  seperti berkata kasar, berbohong, atau berbuat maksiat. Rasulullah SAW bersabda: 

ُهَابََشرَُ وهَامَََدعَ طَعهِف أَ ْن يةٌَاجَحههَلِلاَْسفَ لَيهههبََلَمالْعَزوهر وَل الََُّْد ْع قَ ويََْلَْنم 

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka  Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari).