Jakarta, Beritasatu.com – Penundaan rilis Anggaran Pendapatan Belanda Negara Kinerja dan Fakta atau APBN Kita oleh Kementerian Keuangan dikhawatirkan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal itu disampaikan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jakarta Achmad Nur Hidayat menanggapi langkah Kemenkeu yang belum merilis laporan kinerja APBN Januari 2025.
“Kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN bisa berdampak serius bagi ekonomi nasional. Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal yang dipublikasikan pemerintah untuk menilai kondisi ekonomi suatu negara,” katanya, Jumat (7/3/2025).
APBN Kita merupakan publikasi Kemenkeu bulanan yang bertujuan untuk menginformasikan masyarakat mengenai kinerja pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara sebagai bentuk tanggung jawab publik dan transparansi fiskal.
Laporan ini mulai diterbitkan di website Kementerian Keuangan pada periode Desember 2017. Lalu Kemenkeu mulai melaksanakan konferensi pers APBN Kita secara rutin sejak Januari 2018.
Dia mengatakan apabila laporan APBN Kita terus tertunda, maka kepercayaan terhadap kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang pada akhirnya dapat memicu berbagai dampak negatif.
Salah satu dampak utama adalah meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. Investor yang tidak mendapatkan kepastian mengenai kondisi fiskal negara cenderung bersikap lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya.
Dalam jangka panjang, melemahnya rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan.
“Hal ini bisa menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” tutur Achmad.
Penundaan rilis APBN Kita juga dapat berpengaruh terhadap pasar obligasi. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada persepsi investor terhadap kesehatan fiskal pemerintah.
Apabila investor mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola APBN, permintaan terhadap obligasi pemerintah bisa menurun, yang pada akhirnya meningkatkan yield atau imbal hasil obligasi.
“Peningkatan yield ini berpotensi menambah beban utang pemerintah, terutama dalam membiayai defisit anggaran,” tutur dia.
Sementara itu Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro mengatakan pihaknya berencana menggelar konferensi pers untuk merilis APBN Kita pekan depan.
“Insyaallah minggu depan, tunggu saja ya,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Infografis efisiensi anggaran. – (Investor Daily/-)
Dalam konferensi pers APBN Kita pada Selasa (7/1/2025), Kemenkeu melaporkan defisit APBN selama 2024 melebar menjadi Rp 507,8 triliun atau 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh lebih tinggi dari defisit APBN 2023 yang sebesar Rp 337,3 triliun atau 1,61% dari PDB.
Adapun realisasi pendapatan negara sebesar Rp 2.842,5 triliun lalu belanja negara sebesar Rp 3.350,3 triliun. Sedangkan pembiayaan anggaran sebesar Rp 553,2 triliun. Pendapatan negara tumbuh 2,1% secara tahunan.
Jika dirinci, maka penerimaan negara sebesar Rp 2.842,5 triliun terbagi dalam penerimaan pajak sebesar Rp 1.932,4 triliun, kepabeanan dan cukai sebesar Rp 300,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 579,5 triliun, dan hibah senilai Rp 30, 3 triliun.
Realisasi belanja negara mencapai Rp 3.350,3 triliun pada akhir tahun 2024 atau tumbuh 7,3% dari periode yang sama tahun 2023. Realisasi ini meliputi belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 1.315 triliun, belanja non-K/L sebesar Rp 1.171,7 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp 85,1 triliun, sebagaimana dalam laporan APBN KiTA.
