Kesetaraan Manusia di Hadapan Allah

Kesetaraan Manusia di Hadapan Allah

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kesetaraan di antara seluruh umat manusia. Kesetaraan yang dijunjung Islam digambarkan dengan baik dalam Al-Qur’an dan hadis. Di  dalam Al-Qur’an, Allah Swt menegaskan bahwa kesukuan, nasab, dan hal lainnya, tidak dapat  menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Allah SWT berfirman QS Al-Hujurat ayat 13: 

 يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏ ١٣

yâ ayyuhan-nâsu innâ khalaqnâkum min dzakariw wa untsâ wa ja‘alnâkum syu‘ûbaw wa qabâ’ila lita‘ârafû, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum, innallâha ‘alîmun khabîr

Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Untuk menjelaskan ayat ini, Imam Fakhruddin ar-Razi menegaskan bahwa kemuliaan agama berada di atas segala kemuliaan lainnya. Kemuliaan nasab tidak dapat mengalahkan kemuliaan agama, yakni ketakwaan. Baginya, seorang non-muslim walaupun bernasab  mulia tidak bisa dianggap lebih mulia dari seorang muslim yang tidak bernasab mulia.

Kemuliaan nasab dan hal-hal duniawi lainnya hanya menjadi kemuliaan di mata manusia, sementara kemuliaan yang hakiki di mata Allah adalah kemuliaan dari takwa yang kuat. 

Penegasan makna ayat ini disampaikan Rasulullah SAW dalam khotbahnya di hari tasyriq pada haji wadak. “Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khotbah Rasulullah SAW di tengah-tengah hari tasyriq. Beliau bersabda,‘Wahai sekalian  manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada  kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang Ajam atas orang Arab. Tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit  hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?’ Mereka menjawab: iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.” 

Setelah ayat sebelumnya menegaskan bahwa kemuliaan hakiki di hadapan Allah didapatkan dengan ketakwaan, pada hadis ini Rasulullah SAW menegaskan kepada hadirin yang mayoritas orang Arab, sekaligus menyampaikan kepada hadirin yang datang kemudian, yakni bangsa Ajam. Kepada para sahabat, Rasulullah memberikan pesan bahwa mereka yang bangsanya terpilih menjadi tempat kelahiran agama Islam tidak lantas lebih mulia daripada orang-orang yang datang kemudian dan dari bangsa non-Arab. Rasul memotivasi umatnya yang datang kemudian dan dari bangsa  non-Arab agar tidak malu dan tidak minder untuk berlomba dengan mereka yang sudah  berbahasa Al-Qur’an sejak lahir.  

Pada hadis lain, Rasulullah lagi-lagi mengingatkan adat buruk masa jahiliah yang membanggakan nasab. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kebanggaan jahiliah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. (Kini hanya ada) seorang mukmin yang bertakwa atau seorang  yang durhaka dan celaka. Kalian semua adalah keturunan Adam dan Adam (diciptakan) dari  tanah. Hendaklah orang-orang yang berbangga dengan nenek moyang mereka berhenti atau  mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada serangga kecil yang mendorong kotoran  dengan hidungnya. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) 

Pesan Rasulullah SAW ini disampaikan dalam konteks masyarakat Arab yang saat itu memiliki kebanggaan tinggi terhadap identitas kesukuan mereka. Hadis ini menjadi pengingat bahwa kelahiran di tanah Arab, bahkan kemampuan berbicara dalam bahasa Al-Qur’an sejak  lahir, bukanlah ukuran kemuliaan. Rasulullah memotivasi umat Islam, termasuk mereka yang  berasal dari bangsa Ajam, untuk tidak merasa rendah diri, melainkan berlomba-lomba  mencapai ketakwaan. 

Hadis dan ayat Al-Qur’an diatas menggambarkan bagaimana Islam menjunjung tinggi  kesetaraan. Islam menjadikan sesuatu yang dapat diusahakan menjadi ukuran kemuliaan manusia, bukan menjadikan sesuatu yang merupakan pemberian atau given. Dalam hal ini, ada  beberapa hikmah yang dapat dipetik.  

Pertama, ketika ketakwaan dijadikan sebagai tolak ukur kemuliaan manusia, hal ini membuka  peluang bagi setiap individu untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik di mata Allah Swt.  Tidak peduli dari mana asal-usulnya, keturunan, bahkan kelebihan atau kekurangan fisiknya,  semua orang memiliki kesempatan yang sama. 

Islam mengajarkan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukanlah tentang status sosial, kekayaan, atau penampilan fisik, melainkan tentang  seberapa besar seseorang bertakwa kepada-Nya. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa  seseorang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata akan mendapatkan dua pahala, yakni satu untuk bacaan itu sendiri dan satu lagi untuk usaha yang dilakukannya. Hal ini menunjukkan  bahwa usaha dan ketekunan sangat dihargai dalam Islam.

Dengan demikian, tidak ada alasan  bagi siapa pun untuk merasa kurang atau lebih baik dibandingkan orang lain, karena setiap  individu memiliki peluang yang sama untuk menjadi mulia di hadapan Allah Swt. 

Kedua, menjadikan ketakwaan sebagai standar kemuliaan mencerminkan keadilan Islam yang  luar biasa. Jika kemuliaan seseorang ditentukan berdasarkan sesuatu yang bersifat given atau karunia bawaan, seperti kecantikan atau keturunan, maka akan muncul ketidakadilan.

Orang-orang yang tidak memiliki karunia tersebut akan merasa dirugikan, seolah-olah Tuhan Yang Maha Adil mendiskriminasi mereka. Namun, Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Adil yang  tidak pernah membedakan makhluk-Nya berdasarkan hal-hal yang berada di luar kendali  mereka.

Ta’ala Allahu ‘an Dzalik, Allah tidak akan memberikan kelebihan kepada satu  golongan, sehingga memulai dengan poin tambahan, sementara golongan lainnya memulai dari nol. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu, baik Arab maupun Ajam, tanpa diskriminasi.