Cerita Perjalanan Sritex dari Masa Kejayaan Sampai Mengalami Kebangkrutan!

Cerita Perjalanan Sritex dari Masa Kejayaan Sampai Mengalami Kebangkrutan!

JABAR EKSPRES – PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex adalah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. Dalam sepak terjangnya, industri ini telah mengalami masa kejayaan dalam dunia tekstil tanah air.

Sritex pernah mengalami kemajuan ketika era Presiden ke-2 Soeharto. kedekatan pendiri Sritex yakni Haji Muhammad Lukminto (H.M. Lukminto) alias Le Djie Shin menjadikan perusahaan yang ada di Sukoharjo itu jadi pionir industri tekstil.

BACA JUGA: 26 Mantri Bank BRI Tuntut Keadilan kena PHK, Begini Respon Manajemen!

Usaha Sritex kala itu semakin berkembang ketika di bawah perlindungan keluarga Cendana. Industri tekstil ini sering mendapat order dari pemerintah melalui pengadaan seragam TNI dan Polri.

Akan tetapi dalam perjalanan pergantian rezim, Sritex mulai goyah dengan terpaan berbagai kondisi yang tidak menguntungkan.

BACA JUGA: Gelombang PHK 42.863 Orang, Klaim BPJS Ketenagakerjaan Melonjak Tajam

Sritex mulai menunjukan penurunan produksi ketika terpaan wabah Covid-19 sampai akhirnya perusahaan ini terlilit utang dengan nilai fantastis.

Sritex juga tidak mampu untuk mengembangkan produk hingga kalah dalam persaingan produk tekstil impor dari China yang membanjiri Indonesia.

BACA JUGA: Bahlil Ungkap Penyebab Gelombang PHK Masal pada Industri

Kondisi ini diperparah dengan penurunan nilai ekspor akibat kondisi global yang masih tidak menentu akibat stabilitas keamana dunia yang masih belum kondusif.

Upaya yang diambil Sritex untuk menyehatkan perusahaan tergolong sangat berani dengan melakukan pinjaman pada sindikasi perbankan swasta nasional dan luar negeri.

Meski begitu, Sritex tetap tidak bisa bangkit, hingga akhir tahun 2023, kewajiban jangka pendek Sritex tercatat US$ 113,02 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun.

BACA JUGA: 15 Ribu Pekerja Pabrik Tekstil Kena PHK, Salah Satunya di Kota Bandung!

Utang yang dimiliki ini diketahui US$ 11 juta di antaranya didapatkan dari pinjaman jangka pendek ke Bank Central Asia (BBCA).

Selain itu, sebesar US$ 1,49 miliar merupakan kewajiban jangka panjang dengan rsincian US$ 858,05 mayoritas merupakan utang eks sindikasi bank di antaranya Citigroup, DBS, HSBC dan Shanghai Bank senilai US$ 330 juta.

BACA JUGA: Gelombang PHK Hantam Perusahaan Starup Indonesia