Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

Jakarta, Beritasatu.com – Bagi umat Islam, mengajak ke jalan kebaikan hukumnya adalah farḍu kifayah (kewajiban yang dibebankan kepada semua umat Islam, namun jika sudah ada satu yang menjalankan, maka sudah dianggap cukup). Hal ini bisa kita lihat dalam perintah Allah:

وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ​ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏ ١٠٤

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali ‘Imran [3]: 104).

Menurut pandangan al-Maturidi, penggalan ayat waltakun minkum memiliki dua kemungkinan pemahaman. Pertama, berupa redaksi khabar secara hakikat meskipun secara dzahir berupa perintah. Kedua, berupa perintah secara dzahir dan hakikat. Kedua bentuk redaksi tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda.

Jika berupa khabar secara hakikat, maka maknanya bahwa berdakwah hukumnya adalah farḍu kifayah. Namun, jika redaksi tersebut berupa perintah secara dzahir dan hakikat, maka konsekuensinya dakwah menjadi farḍ ‘ain, atau setiap umat wajib menjalankan perintah untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sementara itu, al-Zamakhsyari lebih cenderung memaknai perintah tersebut sebagai farḍu kifayah, yang berarti bahwa umat Islam, baik secara individu maupun perwakilan, diperintahkan untuk mengajak kebaikan.

Meskipun Islam pada dasarnya memerintahkan umatnya untuk menyeru kepada kebaikan dan jalan Allah, namun Islam tidak serta-merta menyuruh memusnahkan orang-orang yang berbuat salah tanpa memberikan kesempatan untuk bertaubat. Namun, dalam pelaksanaannya, umat Islam memiliki sikap yang berbeda-beda.

Sebagian kelompok menggunakan cara yang longgar dan moderat, sementara yang lain cenderung keras dan brutal. Hal ini tentu menjadi sorotan dunia, sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang brutal dan identik dengan kekerasan.

Salah satu metode dakwah yang menarik untuk dipelajari guna menghilangkan pandangan negatif tersebut adalah metode dakwah Nabi Musa kepada Firaun. Dalam Al-Qur’an, metode dakwah Nabi Musa digambarkan sebagai berikut:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (QS. Thaha [20]: 43).

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Thaha [20]: 44).

Ayat di atas secara eksplisit memerintahkan Musa dan Harun untuk pergi menemui Firaun guna menyadarkannya, karena ia telah melewati batas dengan mengaku sebagai Tuhan serta melakukan berbagai kezaliman seperti pembunuhan sewenang-wenang. Allah sebenarnya bisa saja langsung menghancurkan Firaun dengan badai atau bencana lainnya, tetapi Allah memilih untuk mengutus Nabi Musa dan Harun agar memperingatkan Firaun terlebih dahulu.

Bahkan, dalam perintah-Nya, Allah menggunakan redaksi اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ, yang menunjukkan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk menemui Firaun secara langsung dan tertutup tanpa melibatkan kaumnya.

Al-Qafal, sebagaimana dikutip oleh Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa salah satu makna dari اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ adalah perintah untuk menemui Fir’aun secara pribadi. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika mengingatkan kesalahan seseorang, sebaiknya dilakukan secara pribadi dan tidak diumbar di tempat umum.

Sebab, jika kesalahan seseorang dibuka di depan umum, justru akan semakin sulit baginya untuk menerima kebenaran. Ini merupakan adab yang harus dijaga dalam mengingatkan orang lain, karena kesalahan bukan untuk dipertontonkan atau mempermalukan.

Dalam ayat berikutnya, Allah berfirman:

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Artinya: Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas” (QS. Thaha [20]: 45).

Ayat ini memerintahkan Musa dan Harun untuk berdiskusi dengan Firaun dengan ucapan yang lembut. Al-Māturīdī dalam tafsirnya berpendapat bahwa alasan Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata lembut adalah karena ucapan yang lembut lebih mudah diterima oleh hati dibandingkan dengan ucapan yang kasar, terutama ketika berbicara kepada seorang penguasa.

Sejalan dengan itu, Al-Samarqandī juga menjelaskan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk berdakwah dengan penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan, sebab ucapan yang lembut lebih efektif dalam menyentuh hati seseorang dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

Metode dakwah seperti ini tidak hanya berlaku untuk pemimpin, tetapi juga dalam konteks yang lebih umum. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125).

Al-Māwardi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ adalah agama Islam. Sedangkan بِالْحِكْمَةِ memiliki dua arti, yaitu Al-Qur’an (menurut Al-Kalabī) dan kenabian. Sementara وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ dapat bermakna Al-Qur’an dalam kelembutan ucapan serta dalam perintah dan larangan.

Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah dakwah Nabi Musa dan Harun kepada Firaun bahwa dalam berdakwah, kita harus menjaga perasaan objek dakwah, tidak menyalahkannya di depan umum, serta berbicara dengan ucapan yang lembut. Sebab, pendekatan yang lembut lebih menyentuh hati dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)