Surabaya (beritajatim.com) – Band punk-new wave Sukatani kembali menjadi sorotan setelah menarik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” dari berbagai platform dan mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri. Keputusan ini menuai reaksi keras dari publik yang menilai tindakan tersebut terjadi akibat adanya tekanan.
Pengamat Sosiologi Universitas Negeri Malang, Nora Ayudha, menanggapi fenomena ini dengan menekankan bahwa karya seni sering kali lahir sebagai bentuk respon terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya.
“Seni itu sebenarnya cerminan kenyataan. Apa yang disuarakan Sukatani bisa jadi merupakan keresahan banyak orang. Lewat karyanya, Sukatani menjadi wakil bagi kegelisahan kondisi bangsa saat ini,” ujar Nora Ayudha, Sabtu (22/2/2025).
Nora menambahkan bahwa tindakan represif terhadap karya seni justru dapat memperburuk situasi dan meningkatkan simpati publik terhadap pelaku seni yang dikekang.
“Represi terhadap karya seni itu ibarat menyiram bara api dengan bensin. Nyala apinya makin membesar dan semakin menumbuhkan simpati banyak pihak. Tidak hanya komunitas musik, tapi pelaku seni dari berbagai disiplin,” jelas alumnus FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini.
Ia juga menyinggung sejarah pelarangan karya seni di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru, yang justru meningkatkan popularitas karya tersebut di kemudian hari.
“Sejarah mengajari kita misalnya, bahwa semakin direpresi suatu karya, maka pesan dari karya tersebut semakin terekspos. Seperti api yang berbalik menyerang empunya. Contoh paling sahih adalah karya-karya Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer yang baru saja cetak ulang. Hal ini menunjukkan tingginya minat orang-orang mencari jawaban, kenapa karyanya diburu Orba dan dilarang peredarannya,” tuturnya.
Menurut Nora, fenomena Sukatani telah menarik perhatian publik luas, tidak hanya dari komunitas punk tetapi juga dari kalangan yang lebih umum.
“Siapa sekarang yang tidak kenal Sukatani? Beberapa waktu lalu hanya komunitas punk saja yang doyan dan mengapresiasi. Tetapi sekarang? Awam pun yang mungkin secara musikalitas tidak cocok dengan genre punk-wave, mendadak mengulik lagu-lagu band tersebut,” kata Nora.
Di era digital saat ini, Nora menilai bahwa pembungkaman terhadap karya seni semakin sulit dilakukan dan justru berpotensi memperkaya ruang diskursus publik yang sehat.
“Di era keterbukaan, pembungkaman tidak lagi relevan karena kanal informasi dan komunikasi terbuka teramat lebar. Jika dianggap kritik, sebenarnya ini tidak berlawanan dengan statement Kapolri, bahwa pengkritik dihadiahi gelar sahabat polri,” pungkasnya.
Berikut adalah lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” yang kini telah ditarik dari peredaran:
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Sukatani merupakan band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang dibentuk pada tahun 2022 oleh dua personel, Ovi alias Twister Angel dan Al alias Alectroguy. Band ini menarik perhatian publik setelah merilis album perdana “Gelap Gempita” pada 24 Juli 2023 yang berisi delapan lagu, salah satunya “Bayar Bayar Bayar” yang sempat viral.
Sukatani dikenal memiliki identitas unik, dengan nama band yang ditulis dalam huruf Arab serta penampilan yang selalu menggunakan topeng. Selain itu, mereka memiliki kebiasaan membagikan hasil bumi seperti sayuran kepada penonton di atas panggung sebagai simbol dukungan terhadap perjuangan petani.
Sejak debutnya, Sukatani telah tampil di berbagai festival besar seperti Synchronize dan Pestapora. Namun, misteri identitas mereka akhirnya terungkap setelah mereka mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri terkait viralnya lagu “Bayar Bayar Bayar”. [asg/beq]
