Beberapa hidangan yang umum disajikan pada Meugang antara lain kuah beulangong (semacam gulai daging dengan bumbu khas Aceh), rendang Aceh, dan semur daging.
Setiap keluarga memiliki cara tersendiri dalam mengolah daging, yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah makanan siap, keluarga besar akan berkumpul untuk makan bersama.
Tidak hanya anggota keluarga inti, tetapi juga sanak saudara, tetangga, dan bahkan orang-orang yang kurang mampu akan diajak untuk menikmati hidangan Meugang. Masyarakat juga sering mengantarkan makanan ke masjid, panti asuhan, atau rumah yatim piatu sebagai bentuk sedekah dan kebersamaan.
Meugang bukan hanya tentang makan bersama, tetapi juga tentang mempererat hubungan sosial dan mempertahankan nilai-nilai budaya. Dalam kehidupan modern, di mana kesibukan sering membuat anggota keluarga jarang berkumpul, Meugang menjadi momen yang sangat berarti untuk mempererat silaturahmi.
Selain itu, Meugang juga mencerminkan nilai gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun harga daging mahal, masyarakat Aceh tetap berusaha menjalankan tradisi ini, bahkan mereka yang kurang mampu pun akan berusaha sebisa mungkin untuk membeli dan memasak daging.
Jika tidak memungkinkan, biasanya ada tetangga atau keluarga yang akan berbagi, menunjukkan kuatnya nilai sosial dalam budaya Aceh. Tradisi ini bukan hanya sekadar menyantap daging, tetapi juga menjadi simbol solidaritas sosial di masyarakat Aceh.
Dengan mempertahankan Meugang, masyarakat Aceh tidak hanya melestarikan warisan budaya nenek moyang, tetapi juga menjaga harmoni sosial dalam kehidupan mereka. Meugang bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang kebersamaan dan makna spiritual yang mendalam dalam menyambut bulan suci dan hari raya Islam.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1278235/original/058770500_1467267679-meugang.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)