Jember (beritajatim.com) – Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur menerbitkan buku berjudul ‘Sekali Berarti Sesudah Itu Abadi’. Ini buku keenam yang diterbitkan lembaga tersebut.
Buku tersebut ditulis komisioner Nur Elya Anggraini dan Dewita Hayu Shinta, bersama akademisi Universitas Trunojoyo Madura Mohammad Afifuddin, dan dua pegawai Sekretariat Bawaslu Jatim Laylatul Munawaroh dan Ach. Taufiqil Aziz.
“Buku ini hadir sebagai usaha konkret untuk mengabadikan orang-orang adhoc di dalam dunia pengawasan pemilu. Kita menyebutnya sebagai pengawas pemilu adhoc,” kata Nur Elya Anggraini, Sabtu (21/12/2024).
Ada ribuan pengawas adhoc di 38 kabupaten dan kota di Jatim, yang terdiri atas 1.998 orang anggota panitia pengawas kecamatan (panwascam), 8.487 orang anggota pengawas kelurahan dan desa (PKD), dan 60.750 orang pengawas tempat pemungutan suara (PTPS).
Rentang kerja anggota adhoc ini tak terlampau lama. Pengawas TPS bekerja selama satu bulan. Namun ada pula yang bekerja selama beberapa bulan tahapan Pemilu 2024 sebagai panwascam atau PKD. “Mereka yang bekerja hanya sekali waktu itu tak hanya menyisakan SK dan Form A saja, tetapi jejak langkah yang nyata,” kata Elya.
Potongan sajak pujangga Chairil Anwar, ‘Sekali berarti sesudah itu mati’, menjadi inspirasi judul buku tersebut. “Dalam konteks ini, pengawas adhoc tidak dikonotasikan mati, melainkan abadi. Pengabdiannya akan dikenang selamanya melalui buku ini,” kata Elya.
Buku ini ditulis selama tahapan pemilihan kepala daerah serentak sejak September sampai November 2024. Terdiri atas enam bab, buku ini mencoba menjelaskan kepada publik soal peran pengawas adhoc di lapangan.
“Buku ini menjadi pembuka informasi tentang pelaku sejarah dalam pengawasan pemilu 2024, utamanya pengawas adhoc. Para pelaku sejarah yang dekat sekali dengan bassis massa ini memang tidak tersorot ke media,” kata Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Timur A. Warits dalam pengantar buku tersebut.
Bab I buku ini menjelaskan kerangka pikir dan filosofis tentang Bawaslu dengan menggunakan pendekatan filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Bab II bercerita soal tugas-tugas pokok PTPS, pengawas kelurahan/desa, dan panwascam.
Bab III menggambarkan pengawas adhoc di Jatim. “Bagaimana proses rekrutmennya, rata-rata usianya, pendidikannya, dan standar evaluasi serta peningkatan kapasitasnya,” kata Elya.
Cerita tentang pencegahan yang telah dilakukan oleh pengawas adhoc bisa dibaca di Bab IV. Sementara Bab V berisi saja cerita-cerita unik tentang panwascam, mulai dari kasus viral hingga putusan. “Kisah tentang penyelesaian sengketa antarpeserta juga tersaji dalam bagian ini,” kata Elya.
Bab terakhir memberikan gambaran tentang peran pengawas adhoc dalam perselisihan hasil Pemilu 2024. Buku ini mengulas Rumah Data sebagai salah satu produk dari Bawaslu Jatim yang menyokong pemberian keterangan tertulis di Mahkamah Konstitusi saat perselisihan hasil pemilihan umum berlangsung. “Hasil pengawasan pengawas adhoc turut membantu dalam proses PHPU di Mahkamah Konstitusi,” kata Elya.
Elya berharap buku ini bisa menjadi memorabilia perjuangan orang-orang yang disebutnya sebagai para penjaga bara api demokratisasi di Indonesia. “Para pengawas adhoc tidak mendapatkan lencana, namun berjuang menjaga marwah pemilu sebagai satu-satunya mekanisme sirkulasi kepemimpinan politik,” katanya. [wir]
