Jakarta: Ekonom senior Chatib Basri menyatakan tidak bisa hanya mengandalkan PLN untuk merealisasikan target bauran energi nasional. Menurutnya, perlu peran pihak lain untuk merealisasikannya.
Seperti diketahui, pemerintah sedang mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pada semester I-2024, kapasitas pembangkit listrik EBT yang terpasang baru memenuhi 66,6 persen dari target tahunan.
Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2024 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi EBT mesti memenuhi minimal 23 persen pada 2025.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan terus mendorong pengembangan EBT, baik dari sisi kapasitas terpasang, produksi, maupun konsumsi.
“Ada keterbatasan untuk pembiayaan pembangkit Listrik EBT, dan fiscal space kita sudah sangat terbatas sehingga sulit untuk memenuhi itu, dan kalau PLN harus membiayai sebagian besar itu dia harus pinjam, di situ balancing-nya IPP,” ujar ekonom senior Chatib Basri, dikutip dari siaran pers, Kamis, 19 Desember 2024.
Untuk memenuhi target tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkap rencana pemerintah bersama PT PLN (Persero) untuk menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2025-2035.
Skema itu akan menjadi landasan pemerintah dan PLN untuk bekerja sama dengan pengembang pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), sehingga semua pemangku kepentingan dapat bekerja secara optimal untuk mewujudkan ketahanan energi nasional.
Menurut Chatib, IPP merupakan mitra strategis pemerintah dan PLN dalam memastikan suplai energi yang andal, merata, dan berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Peran IPP dalam menyediakan energi untuk kebutuhan publik akan menjadi lebih efisien dengan menghadirkan teknologi modern melalui beragam inovasi. Adopsi teknologi mutakhir dari IPP dapat menekan biaya produksi listrik, sehingga berdampak positif pada tarif listrik yang harus dibayarkan konsumen.
Di sisi lain, kolaborasi ini akan membantu investasi dalam pembangunan infrastruktur pembangkit listrik EBT yang masih terbilang mahal.
“Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tentu akan membebani fiskal negara,” sebut dia.
Sebagai gambaran, untuk kebutuhan pengembangan infrastruktur energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan hingga 2025, pemerintah setidaknya butuh investasi sebesar USD14,2 miliar atau sekitar Rp22,78 triliun (kurs Rp 16.032 per USD).
Sehingga, kehadiran IPP menjadi vital untuk turut menjaga stabilitas fiskal, karena mereka dapat menarik investasi dari green bond atau green financing.
Investasi keuangan yang aplikasinya secara khusus untuk proyek-proyek berkelanjutan dan inisiatif ramah lingkungan.
Chatib menjelaskan, melalui proyek-proyek IPP yang bersumber pada investasi swasta, pemerintah dapat mengalokasikan APBN untuk kebutuhan sektor lain.
IPP juga dapat menyokong Pemerintah dan PLN, sebagai pengelola utama dalam sistem kelistrikan nasional, dalam menyediakan listrik yang bisa menjangkau seluruh pelosok negeri. Memastikan kebutuhan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi.
Kondisi ini membuat kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta menjadi pilar utama dalam membangun infrastruktur energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah dalam hal memperbaiki regulasi dan memberikan insentif menarik, sementara sektor swasta dapat berinvestasi dalam teknologi dan inovasi.
Investasi sektor swasta juga akan meningkatkan peluang tercapainya pertumbuhan ekonomi 8 persen, sesuai target Presiden Prabowo Subianto.
“Pemerintah untuk mengejar target delapan persen itu butuh energi listrik besar, IPP bisa punya role di sini,” jelas Chatib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ANN)