Azerbaijan: Negara-negara berkembang dan rentan kembali menyerukan keadilan pendanaan iklim dalam Konferensi Para Pihak (COP29) yang berlangsung pada 11-22 November 2024. Komitmen pendanaan dari negara-negara maju, yang bertanggung jawab atas 80% emisi historis global, dinilai belum mencukupi untuk memenuhi prinsip “polluters pay” dan mendorong upaya global membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
“Keterlambatan mobilisasi pendanaan iklim hanya memperburuk kondisi kelompok rentan dan menjauhkan kita dari target iklim,” ujar Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani dalam keterangan tertulisnya.
Sesuai Perjanjian Paris 2015, negara maju yang tergabung dalam Annex I dan II diwajibkan memberikan pendanaan iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda (CBDR). Namun, hingga kini, realisasi komitmen itu masih jauh dari harapan.
Sejak Copenhagen Accord 2009, negara maju sepakat mengucurkan US$100 miliar per tahun untuk negara miskin dan berkembang. Namun, angka ini bersifat tidak mengikat dan jauh dari kebutuhan global, yang diperkirakan mencapai US$ 8 triliun per tahun hingga 2030.
Azis Kurniawan, Manager Policy Koaksi Indonesia, menyebut negara berkembang memerlukan US$ 1,1 triliun per tahun untuk mengatasi tantangan adaptasi dan mitigasi iklim. “Pendanaan ini sangat penting untuk mempercepat transisi energi terbarukan sekaligus menghadapi dampak krisis iklim,” ujarnya.
Sayangnya, hampir 90% dana iklim global masih berfokus pada mitigasi. Padahal, dampak ekonomi perubahan iklim diproyeksikan mencapai US$ 447-894 miliar per tahun pada 2030. Syaharani menegaskan, “Pendanaan harus lebih merata, termasuk untuk adaptasi dan loss and damage.”
Di Indonesia, beberapa proyek mitigasi seperti co-firing PLTU dan PLTA skala besar justru menurunkan daya adaptasi masyarakat karena merusak ekosistem. Eka Melisa dari Kemitraan mengingatkan pentingnya indikator pendanaan yang berkelanjutan agar proyek tidak memperburuk kesenjangan dan ketidakadilan.
“Sebagian besar pendanaan yang ditawarkan berbentuk pinjaman (loan) atau bersyarat (concessional). Indonesia perlu memastikan mekanisme pendanaan yang tidak membebani utang,” kata Eka.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, menambahkan mekanisme pendanaan harus berfokus pada masyarakat adat dan komunitas lokal. “Mereka adalah penjaga utama ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Saat ini, dana untuk mereka sangat minim,” tegasnya.
Menurut Ode Rakhman, Direktur Nusantara Fund, mekanisme pendanaan langsung adalah cara paling efektif. Nusantara Fund telah mendukung 157 inisiatif masyarakat adat dan lokal di Indonesia senilai US$ 950 ribu hingga Oktober 2024 dan akan menyalurkan tambahan US$ 600 ribu pada akhir November.
“Pendanaan langsung memperkuat ketahanan sosial dan ekosistem karena masyarakat adat lebih memahami solusi lokal yang berkelanjutan,” kata Ode.
Indonesia perlu mendorong reformasi arsitektur pendanaan global, termasuk pengalihan investasi dari sektor intensif emisi ke sektor hijau. Nadia menyatakan, “Distribusi pendanaan harus mendukung perlindungan ekosistem, restorasi lingkungan, dan transisi energi terbarukan.”
Mekanisme pendanaan yang adil juga harus mengutamakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, petani, nelayan kecil, perempuan, dan kaum muda. Langkah ini diharapkan mampu memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan sosial di tengah ancaman krisis iklim yang semakin mendesak.
Azerbaijan: Negara-negara berkembang dan rentan kembali menyerukan keadilan pendanaan iklim dalam Konferensi Para Pihak (COP29) yang berlangsung pada 11-22 November 2024. Komitmen pendanaan dari negara-negara maju, yang bertanggung jawab atas 80% emisi historis global, dinilai belum mencukupi untuk memenuhi prinsip “polluters pay” dan mendorong upaya global membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
“Keterlambatan mobilisasi pendanaan iklim hanya memperburuk kondisi kelompok rentan dan menjauhkan kita dari target iklim,” ujar Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani dalam keterangan tertulisnya.
Sesuai Perjanjian Paris 2015, negara maju yang tergabung dalam Annex I dan II diwajibkan memberikan pendanaan iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda (CBDR). Namun, hingga kini, realisasi komitmen itu masih jauh dari harapan.
Sejak Copenhagen Accord 2009, negara maju sepakat mengucurkan US$100 miliar per tahun untuk negara miskin dan berkembang. Namun, angka ini bersifat tidak mengikat dan jauh dari kebutuhan global, yang diperkirakan mencapai US$ 8 triliun per tahun hingga 2030.
Azis Kurniawan, Manager Policy Koaksi Indonesia, menyebut negara berkembang memerlukan US$ 1,1 triliun per tahun untuk mengatasi tantangan adaptasi dan mitigasi iklim. “Pendanaan ini sangat penting untuk mempercepat transisi energi terbarukan sekaligus menghadapi dampak krisis iklim,” ujarnya.
Sayangnya, hampir 90% dana iklim global masih berfokus pada mitigasi. Padahal, dampak ekonomi perubahan iklim diproyeksikan mencapai US$ 447-894 miliar per tahun pada 2030. Syaharani menegaskan, “Pendanaan harus lebih merata, termasuk untuk adaptasi dan loss and damage.”
Di Indonesia, beberapa proyek mitigasi seperti co-firing PLTU dan PLTA skala besar justru menurunkan daya adaptasi masyarakat karena merusak ekosistem. Eka Melisa dari Kemitraan mengingatkan pentingnya indikator pendanaan yang berkelanjutan agar proyek tidak memperburuk kesenjangan dan ketidakadilan.
“Sebagian besar pendanaan yang ditawarkan berbentuk pinjaman (loan) atau bersyarat (concessional). Indonesia perlu memastikan mekanisme pendanaan yang tidak membebani utang,” kata Eka.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, menambahkan mekanisme pendanaan harus berfokus pada masyarakat adat dan komunitas lokal. “Mereka adalah penjaga utama ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Saat ini, dana untuk mereka sangat minim,” tegasnya.
Menurut Ode Rakhman, Direktur Nusantara Fund, mekanisme pendanaan langsung adalah cara paling efektif. Nusantara Fund telah mendukung 157 inisiatif masyarakat adat dan lokal di Indonesia senilai US$ 950 ribu hingga Oktober 2024 dan akan menyalurkan tambahan US$ 600 ribu pada akhir November.
“Pendanaan langsung memperkuat ketahanan sosial dan ekosistem karena masyarakat adat lebih memahami solusi lokal yang berkelanjutan,” kata Ode.
Indonesia perlu mendorong reformasi arsitektur pendanaan global, termasuk pengalihan investasi dari sektor intensif emisi ke sektor hijau. Nadia menyatakan, “Distribusi pendanaan harus mendukung perlindungan ekosistem, restorasi lingkungan, dan transisi energi terbarukan.”
Mekanisme pendanaan yang adil juga harus mengutamakan kelompok rentan seperti masyarakat adat, petani, nelayan kecil, perempuan, dan kaum muda. Langkah ini diharapkan mampu memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan sosial di tengah ancaman krisis iklim yang semakin mendesak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ALB)