Praperadilan Tom Lembong, Ahli Hukum: Hanya BPK yang Punya Kewenangan Hitung Kerugian Negara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ahli hukum pidana dan dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Dr Mudzakkir mengatakan, lembaga yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Hal ini disampaikan oleh Mudzakkir saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang praperadilan tersangka kasus dugaan impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
“Kalau menghitung itu harus lembaga yang punya kewenangan menghitung. Kalau khusus itu keuangan negara yang punya kompetensi menghitung itu adalah BPK RI,” kata Mudzakkir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024).
“Jadi kalau bukan BPK RI, tidak punya kewenangan. Apalagi 10 tahun yang lalu. 10 tahun yang lalu kewenangannya itu sudah semua dokumen laporan ada pada BPK,” tambah dia.
Adapun penetapan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan impor gula dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024.
Hal ini didasarkan oleh kebijakan Tom yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag 2015-2016) menerbitkan izin impor gula ketika kondisi gula di tanah air sedang surplus.
Mudzakkir menjelaskan bahwa dalam melakukan audit keuangan, prosedur yang dilakukan harus menggunakan dokumen asli dan tidak bisa dilakukan dengan fotokopi.
“Karena mengaudit itu harus audit dokumen aslinya. Kalau bukan dokumen aslinya, fotokopian tidak boleh. Fotokopi tidak bisa menjadi alat bukti dalam perkara,” tambah dia.
Mudzakkir mengungkapkan bahwa sampai hari ini penyidik Kejagung belum mengajukan hasil audit dari BPK terkait dengan kerugian keuangan negara.
“Itu harus audit investigasi. Kalau sampai hari ini enggak bisa ya (ditunjukkan),” lanjut dia.
Mudzakkir menilai bahwa hal yang paling penting dan pokok itu kerugian keuangan negara.
Dia menjelaskan bahwa saat ini, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, menyatakan kerugian itu harus actual loss.
“Sedangkan potential loss dan total loss itu tidak bisa dipakai lagi untuk ukuran (menentukan kerugian negara). Jadi kalau kebijakan dalam bidang bisnis, itu biasanya adalah potential loss dan kadang-kadang total loss. Tapi tidak real loss. Karena bisnis itu kan berputar terus,” lanjutnya.
Dia menjelaskan, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi, perlu dilakukan audit kerugian dari BPK.
Jika hasil audit tak ada, maka tidak perlu dilakukan proses lebih jauh.
“Kalau tidak ada itu enggak usah diproses dulu. Jadi memastikan yang namanya kepastian hukumnya adil, ada di situ. Tapi kalau itu tiba-tiba tersangka dulu, itu salah prosedur,” tegasnya.
Sementara itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai tidak memiliki kewenangan menentukan nilai kerugian negara akibat korupsi.
“Bahasa hukumnya begini, kalau hasil audit itu sudah di serahkan ke BPK, lembaga lain enggak punya kewenangan, kecuali BPK,” tegasnya.
Di sisi lain, Kejagung sebelumnya mengatakan, kerugian negara dalam suatu kasus dugaan korupsi tidak harus dihitung oleh BPK atau BPKP.
Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar terkait kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong.
Ia menanggapi pernyataan kuasa hukum Tom Lembong soal tak adanya kerugian negara yang ditemukan BPK terkait kebijakan impor gula saat Tom menjabat pada 2015-2016.
“Pada pokoknya menentukan bahwa Penyidik Tindak Pidana Korupsi bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat berkoordinasi dengan instansi lain,” kata Harli dalam keterangan resmi, Selasa (19/11/2024).
Dalam kesempatan itu, Harli tak menjelaskan lebih jauh instansi lain yang ia maksud.
Namun, sebelumnya Harli sempat menyebut bahwa Kejagung juga bekerja sama dengan ahli untuk menghitung kerugian negara pada
kasus Tom Lembong
.
“Kita akan menggandeng ahli untuk memastikan berapa kerugian negara. Saat ini perhitungan masih berlangsung,” ujar Harli di Kejagung Jakarta Kamis (31/10/2023).
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.